Produk Arak Bali Mulai Bertumbuh, Namun Pita Cukai Sudah Naik
MANGUPURA – baliprawara.com
Arak Bali sebagai minuman beralkohol yang diproduksi oleh Petani atau Perajin secara tradisional dan sudah diwarisi turun-temurun, dijadikan sebagai salah satu sumber ekonomi bagi masyarakat di Bali. Keberadaan Arak Bali ini, perlu dilindungi, dipelihara, diberdayakan dan dipasarkan agar mereka dapat berusaha dengan tertib, aman dan nyaman.
Semenjak diterapkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.1 Tahun 2020, telah terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat signifikan terhadap industri arak Bali. Jumlah petani atau perajin arak Bali yang semula tercatat 1.472, saat ini telah mencapai 2.550 lebih pelaku usaha yang tersebar di seluruh Kabupaten di Bali. Bahkan, jumlah Koperasi Produsen Arak yang menampung arak petani mencapai 10 unit usaha. Sedangkan, jumlah varian produk minuman beralkohol yang diproduksi secara legal oleh Pabrik Minuman Beralkohol yang menggunakan Arak Bali, sebagai bahan baku utama sudah mencapai 48 merk.
Kedepan Pemerintah Provinsi Bali bersama Stakeholder terkait akan terus mengembangkan Arak Bali menjadi produk berkualitas berkelas Dunia dan disukai oleh para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Termasuk juga menjadi komoditi minuman yang diekspor ke Mancanegara, sehingga memberi kesejahteraan bagi Petani Arak dan seluruh pelaku usaha Arak Bali.
Namun, di tengah mulai dikenalnya produk Arak Bali ini, justru pemerintah melalui Bea Cukai, menaikkan harga Pita Cukai dari Rp 80 ribu/liter menjadi Rp 101 ribu/liter. Hal ini pun menjadi keluhan para produsen arak Bali, yang disampaikan di sela peringatan hari Arak Bali ke-2, di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park, Senin 29 Januari 2024.
Menurut Ketua Panitia Peringatan Hari Arak Bali 2024, I Made Agus Gelgel Wirasuta mengungkapkan, penaikan cukai tersebut merupakan kebijakan yang tidak adil dan tidak berpihak ke masyarakat. Padahal sudah terbukti bahwa arak adalah produk rakyat warisan leluhur.
Diungkapkan, dari naiknya pita cukai ini, negara sudah mengambil penghasilan dari rakyat Rp 101 ribu/liter. Sedangkan petani arak, hanya dapat maksimum Rp 23 ribu. Produsen dan segala macam sisanya, bersih mendapatkan Rp 10 ribu/liter. Distributor, maksimum dapat Rp 30 ribu, tapi rata-rata kita ambilnya di Rp 10 ribu/liter.
Menurut dia, alangkah bagusnya jika Rp 101 ribu/liter tersebut bisa dikembalikan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat petani. Sehingga masyarakat Bali tidak sekedar sebagai penonton. “Nanti kita harus buat kajian secara rasional. Karena hukum tidak boleh ada timpang. Tapi seperti Visa on Arrival, itu tidak dihilangkan. Tapi dibayarkan dari kunjungan yang belanja langsung ke masyarakat sehingga terjadi peningkatan penghasilan. Model itulah yang akan kita cari, sehingga apa yang dibayarkan dengan cukai itu kita harapkan minimal 50 persen kembali ke masyarakat petani,” katanya didampingi Ketua Asosiasi Tresnaning Arak Berem Bali Ida Bagus Putu Adnyana.
Cukai yang dimaksudkannya itu kata dia, sudah mulai diterapkan tahun ini. Yakni dari Rp 80 ribu menjadi Rp 101 ribu untuk minuman beralkohol Golongan C. “Harapan kami ke Pak Mantan Gubernur (Wayan Koster) agar mengkomunikasikan ke pengambil kebijakan. Untuk memberlakukan ekonomi kerakyatan sesuai dengan asas Pancasila dan UUD 1945,” harapnya.
Sementara itu, Wayan Koster menilai kenaikan cukai tersebut merupakan kebijakan yang kurang mendukung ekosistem perkembangan arak Bali sebagai produk minuman beralkohol Indonesia dan lokal Bali khususnya. Apalagi kenaikan persentase tarif cukai tersebut diketahui justru lebih tinggi yang lokal ketimbang impor.
“Ini kan tidak fair. Tidak adil. Masak yang impor diberikan kenaikan tarif cukai yang persennya lebih rendah daripada lokal. Keberpihakan itu harus ditunjukkan kepada masyarakat kita di Indonesia, para pelaku usaha minuman alkohol di Bali yang telah mengikuti aturan dengan baik,” sebutnya sembari mengajak semua pihak untuk mendukung perekonomian masyarakat lokal.
Terkait hal itu, pihaknya mengaku akan membicarakan hal itu dengan Dirjen Bea Cukai bahkan Menteri Keuangan. Agar keluhan tersebut bisa disikapi bersama oleh para pemangku kepentingan. “Harus ada komitmen yang kuat untuk berpihak kepada produk lokal dalam negeri,” tegasnya. (MBP)