Prof. Wayan Karja Dikukuhkan Sebagai Guru Besar ISI Bali, Punya Kesempatan Lebih Luas Kembangkan Seni Rupa

 Prof. Wayan Karja Dikukuhkan Sebagai Guru Besar ISI Bali,  Punya Kesempatan Lebih Luas Kembangkan Seni Rupa

Prof. Dr. Wayan Karja

DENPASAR – baliprawara.com

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang kini bernama ISI Bali patut berbangga, karena capaiannya dalam bidang akademik makin menggembirakan. Selain jumlah mahasiswa Program Sarjana, Magister dan Program Doktor makin bertambah, Guru Besar atau Profesornya juga makin bertumbuh. Pada awal tahun 2025 ini, lahir lagi lima Guru Besar ISI Bali.

Mereka dikukuhkan Kamis (20/2) ini melalui Sidang Senat Terbuka Inagurasi dan Sapa Publik Guru Besar Anyar, “Karma Citta Waskita”, di kampus setempat. Lima Guru Besar tersebut adalah Prof. Dr. Hendra Santosa, Prof. Dr. Anak Agung Gde Bagus Udayana, Prof. Dr. Ni Ketut Dewi Yulianti, Prof. Dr. I Wayan Karja, dan Prof. Dr. I Ketut Muka Pendet.

Dalam pengukuhan guru besar itu Prof. Dr. I Wayan Karja, menyuguhkan orasi ilmiah berjudul: “Nama Rupa Nyakalayang Niskala Transfigurasi Kemurnian Seni Murni di Era Globalisasi”. Dikatakannya, seni murni adalah cerminan jiwa yang melampaui batasan ruang dan waktu, menghadirkan kedalaman makna yang menyatu dengan intuisi manusia.

Dalam perjalanan panjang seni, ditemukan beragam kebebasan dan makna dapat berpadu untuk membentuk pandangan hidup yang utuh. Sebagai seorang anak yang tumbuh di tengah masa kejayaan seni lukis young artist tahun 1970-an di Penestanan Ubud, sejak kecil Karja sering bermain dan belajar di antara warna-warna palet dan aroma cat minyak di halaman rumah yang sederhana. Ia belajar bahwa seni tidak hanya memberi kebebasan berekspresi, melainkan juga menjadi medium permainan untuk memahami kehidupan.

Pesan ayahnya, I Ketut Santra, seorang pelukis young artist, bahwa “melukis memberikan kebebasan, belajar agama memberi makna”. Kata-kata tersebut menjadi fondasi bagi Karja untuk melangkah dari kehidupan desa menuju era globalisasi. Kini, dalam menghadapi dunia digital yang serba cepat, nilai-nilai masa lalu yang penuh ketulusan dan murni itu terus menjadi fondasi, pijakan, menginspirasi visi baru dalam seni untuk memperkaya kehidupan.

Ketika Karja masih kanak-kanak, ia menemukan sebuah serpihan kayu (tika) yang tergeletak di merajan. Kala itu, benda ini nampak biasa saja, terabaikan, tetapi ternyata menyimpan kearifan yang mendalam tentang pengetahuan kosmologi Bali. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, saat menempuh studi di Universitas Udayana pada 1985, Karja memahami bahwa tika adalah cerminan konsep nama rupa (sebutan-wujud) landasan yang menghubungkan dunia ide dan wujud dengan menggunakan simbol-simbol.

See also  Imigrasi Ngurah Rai Deportasi Bule Inggris Yang Melawan Polisi Saat Ditilang

Pengalaman ini menjadi titik awal perjalanannya untuk memahami hubungan antara warisan luhur budaya Bali yang adiluhung dengan ekspresi seni sebagai cara ungkap. Dalam budaya Bali, tidak semua warisan hadir secara nyata dalam bentuk rupa. Ada pula warisan nir-rupa yang abstrak, hanya hadir sebagai nama atau sebutan.

Pemahaman ini membuka cakrawala baru baginya untuk mengintegrasikan nilai nilai tradisi ini ke dalam praktik seni murni yang ditekuni, mempertemukan masa lalu dengan kreativitas masa kini sebagai tuntunan hidup. Seni lukis dengan segala elemennya dari nama hingga rupa, bagi Karja adalah petunjuk arah kehidupan dan mensejahterakan lahir batin.

Di balik setiap artefak seni dan budaya, tersembunyi nilai-nilai luhur yang menjadi roh dari keberadaan wujud rupa, mewujudkan harmoni antara bentuk dan isi. Dalam konsep nama rupa, dua sisi ini saling melengkapi menghadirkan keseimbangan yang tidak hanya tercermin dalam seni murni, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dihubungkan melalui panca indra.

Salah satu kekuatan utama seni adalah kemampuannya menghadirkan perspektif baru, menjadikan yang biasa terasa luar biasa melalui pengalaman estetis yang mendalam. Sebagai pewaris seni dan budaya leluhur, terdapat tanggung jawab untuk tidak hanya menjaga artefak ini, tetapi juga merawat makna niskala yang menyertainya.

Sebaran seni dan budaya Bali menjadi cermin kekayaan warisan nirbenda yang penuh penghayatan falsafah hidup, keindahan ekspresi, dan roh penuntun ke arah yang mulia dan bermartabat. Kekayaan ini menjadi tantangan untuk tidak sekadar melestarikan, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dalam dunia yang terus berubah, dan untuk membangkitkan kesadaran bahwa seni modern tidak hanya seni Barat tetapi lahir dan tumbuh kembang di seantero jagat.

Di era globalisasi dan digitalisasi, seni murni menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitasnya sambil merangkul inovasi. Art-based research membuka ruang transdisipliner, sementara etnopedagogi berperan dalam menjaga pewarisan seni dan budaya di tengah perubahan zaman.

Teknologi memperluas ekspresi artistik dan jangkauan global, sedangkan dialog lintas budaya mendorong inovasi inovasi baru. Seni menjadi titik temu antara nama dan rupa, menghubungkan simbolik, nyakalayang sebagai perantara yang melampaui fisik, serta niskala sebagai dimensi spiritual transendental. Berada di persimpangan tradisi, modernitas, dan digitalisasi, seni murni menuntut keseimbangan antara identitas autentik dan adaptasi.

See also  Pimpin Rapat Evaluasi, Rai Mantra Minta Semua Anggota GTPP Fokus Penanganan Covid-19

Pendekatan fenomenologis mengungkap proses kreatif dan nilai terapeutik seni, menjadikannya lebih dari sekadar ekspresi estetis, tetapi juga sarana refleksi, terapi, dan kolaborasi global. Memuliakan kemurnian seni murni merupakan upaya menjaga dan mengembangkan nilai-nilai terselubung. Nama rupa merupakan salah satu kearifan Bali sebagai representasi nilai-nilai estetika artistika etnis. Nilai-nilai tersebut merujuk pada pemahaman dan penciptaan seni sebagai inspirasi peradaban, dan dapat dijadikan bagian penting dari kekuatan nilai tawar dalam percaturan antar bangsa di era globalisasi.

Seni murni adalah seni yang terkait dengan keindahan dan untuk pemenuhan kebutuhan batin, tidak terfokus pada kepentingan praktis dan komersial. Seni murni sebagai salah satu warisan budaya luhur, memancarkan kekuatan nilai yang berlapis, lahir dari sublimasi tradisi animisme, ajaran Hindu-Buddha, dan pengaruh modernisasi. Dari era animisme, seni murni berkembang sebagai medium spiritual yang menghormati keseimbangan kekuatan alam dan roh leluhur.

Kedatangan Hindu-Buddha, melalui kerajaan Majapahit sebagai salah satu pintu masuk budaya India-China memperkaya seni dengan konsep harmoni kosmik, kemudian seniman Barat membawa teknik chiaroscuro yang dapat disatukan tanpa menghilangkan akar tradisional. Di Bali, lapisan-lapisan pengaruh ini menjadikan seni murni cerminan identitas budaya yang sakral, estetis, spiritual dan berkembang subur hingga tersublimasi dalam bentuk dan isi seni yang dapat disaksikan di museum museum seni.

Penggunaan istilah seni murni dan seni rupa sering meragukan, seni rupa mencakup semua bentuk seni visual, sedangkan seni murni secara khusus mengutamakan ekspresi pribadi, batin, dan nilai estetis. Pada awalnya wujud seni murni sangat terbatas hanya pada lukisan, patung, dan grafik, namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern kontemporer, seni murni berkembang menguak lintas batas ke ranah seni instalasi, seni rupa pertunjukan, dan seni media-digital transdisiplin.

Seni murni menggambarkan karya seni yang dianggap tidak hidup, meskipun sering kali memiliki nilai yang tinggi dalam refleksi filosofis. Keindahan seni murni adalah keindahan yang lahir dari jiwa dan terus hidup dalam setiap ekspresinya.

Seni murni adalah jiwa abadi daribperadaban, bernapas dalam keheningan waktu, meski wujudnya mungkin pudar, semangat dan rohnya tetap bergema dalam jejak ingatan manusia. Pandangan ini selaras dengan konsep alkemi, tradisi kuno yang melibatkan sains, filsafat, dan mistisisme tentang “roh dalam materi,” yang merujuk pada keyakinan adanya jiwadalam benda mati. Sebuah karya seni hanya benar-benar dianggap seni sejauh ia berasal dari roh taksu atau muse yang proses kreatifnya mencerminkan cahaya batin. Tidak hanya berfokus pada bentuk visual, rupa, tetapi juga pada esensi dan roh yang menghayatinya, nama.

See also  Tingkatkan Kualitas, FK Unud Bersiap Akreditasi Internasional AUN-QA

Manusia tidak hanya dikenal sebagai homo sapiens yang dilengkapi pengetahuan dan kebijaksanaan, tetapi juga sebagai homo imaginatus, yang memiliki kemampuan imajinasi untuk mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan. Kemampuan ini memungkinkan manusia untuk belajar dari sejarah dan merancang visi baru demi menciptakan dunia yang lebih baik.

Seni murni memiliki rentang waktu sangat panjang mulai dari lukisan prasejarah di Goa Altamira di Spanyol baratdaya dan Lascaux di Perancis selatan. Ketika Renaisans abad ke 14 hingga ke-17, seni dibagi antara seni tinggi dan seni rendah, namun dengan munculnya estetika transendental pada abad ke-18, oleh Immanuel Kant mengemukakan bahwa pengalaman estetika melampaui dunia fisik dan menghubungkan manusia dengan dimensi spiritual.

Sementara itu Prof. Wayan Karja meniti karier sebagai dosen Seni Rupa sejak kampus seni ini bernama STSI Denpasar. Selain mengajar, Wayan Karja amat intens berkarya. Di Studio Seni Rupanya di Desa Penestanan Ubud, Wayan Karja banyak menghasilkan karya seni lukis yang mengagumkan. Kini, capaian akademik tertinggi telah diraihnya. Gelar Profesor telah disandang.

Bagi Prof. Wayan Karja, menjadi seorang guru besar adalah pencapaian puncak yang membawa tanggung jawab besar dalam riset, pendidikan, dan penciptaan seni. Gelar ini memberinya kebebasan lebih luas untuk mengembangkan wacana seni rupa, membimbing generasi yang lebih muda, serta menjaga integritas akademik dalam konteks pengembangan seni local dan global.

Bagi ISI Bali, kehadiran guru besar memperkuat reputasi institusi, membuka peluang kolaborasi global, dan memperbarui kurikulum seni level international. “Harapan saya, pencapaian ini juga menginspirasi mahasiswa dan akademisi muda untuk terus berkarya, menjadikan ISI Bali semakin berperan dalam perkembangan seni dan budaya berwawasan luas di era global, ” ujar Prof. Wayan Karja. (MBP2)

 

Made Subrata

Related post