Reformasi Kebijakan Pembangunan Bali
Sukarsa
Oleh:I Wayan Sukarsa
Bali sebuah pulau kecil memiliki berbagai potensi alam dan beraneka ragam adat, membentuk keunikan budaya yang berbeda dengan daerah lainnya. Bali memiliki luas wilayah darat sebesar 559.001,27 hektar, terbagi menjadi 1.493 desa adat sebagai garda terdepan penjaga dan pelestari budaya, adat dan alam Bali. Berbagai keunikan budaya tradisional menjadikan Bali sebagai destinasi wisata kelas dunia serta penggerak pertumbuhan dan perekonomian daerah.
Sebagai daerah tujuan wisata utama, berbagai kebijakan dijadikan landasan yuridis dan operasional dalam mendorong dan mengatur kehidupan, perekonomian, pengembangan infrastruktur penunjang kepariwisataan. Keberhasilan pembangunan Bali telah memberikan dampak dan manfaat secara ekonomi. Namun, pada sisi lainnya tidak dapat dipungkiri menimbulkan ekses negartif, terutama pada kemampuan ekologis lingkungan. Hal ini diduga diakibatkan oleh kebijakan yang lebih berfokus pada pertumbuhan ekonomi semata, sehingga memunculkan berbagai persoalan, sosial dan lingkungan yang kurang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan utamanya pada daerah pariwisata dan penunjangnya.
Bali dihadapkan berbagai permasalahan dan tantangan sebagai dampak meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor pariwisata, meskipun, pengaruh dan kondisinya tidak merata di seluruh wilayah Bali, sehingga perlu mendapatkan perhatian, antisipasi secara serius. Kondisi ini merupakan konsekuensi dari kebijakan yang kurang tepat sasaran sehingga perlu melakukan reformasi kebijakan.
Reformasi kebijakan adalah proses perubahan sistematis yang dilakukan terhadap kebijakan yang ada atau pembuatan kebijakan baru, dengan tujuan memperbaiki kekurangan, meningkatkan tata kelola (good governance), mendorong keadilan dan kesetaraan sosial, serta menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Hal itu mencakup bidang ekonomi, sosial, infrastruktur, dan lingkungan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan untuk keberlanjutan jangka panjang, demi membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi sekarang dan mendatang.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan sering kali memproduksi ketidakbijakan yang dipengaruhi faktor, kurangnya kajian mendalam, tekanan politik, maupun kepentingan kelompok tertentu untuk mengejar sebuah kemajuan dengan melakukan perubahan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak yang diakibatkan dalam jangka panjang secara ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Dalam membuat kebijakan, sangat penting untuk mengidentifikasi akar masalah dan mengedepankan evaluasi yang objektif guna memastikan bahwa kebijakan lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat, ketika kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak memberikan dampak keberlanjutan, sangat merugikan baik pihak pemerintah secara legitiminasi sebagai pembuat kebijakan maupun masyarakat sebagai obyek dari kebijakan.
Kebijakan publik yang tepat sasaran harus didasarkan pada data yang akurat, kajian mendalam, dan partisipasi aktif dari masyarakat serta melakukan evaluasi secara berkala, transparan, dan melibatkan partisipasi publik, transparansi, akuntabilitas, serta pemanfaatan teknologi dan inovasi dengan tetap mempertimbangkan eksistensi Bali, pranata-pranata sosial budaya yang menjadi kekuatan keberlangsungan pariwisata.
Sistem pembangunan Bali harus didukung oleh kebijakan yang menjaga keseimbangan alam dilandasi falsafah Tri Hita Karana dan Sat Kerthi dijadikan panduan etika dan moral untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan konsep ini, pembangunan tidak hanya berfokus pada kemajuan fisik tetapi juga menciptakan keharmonisan dan keseimbangan, melalui strategi penataan ruang dan pembangunan yang berkelanjutan, terukur, dan terintegrasi, dengan penekanan pada ekonomi hijau, keseimbangan alam, pelestarian budaya serta peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Sebagai upaya menjaga alam Bali, perlu perencanaan kebijakan secara komperehensif menitikberatkan pada perlindungan dan pelestarian alam, budaya dengan memitigasi dampak risiko dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi secara keseluruhan. Sehingga berbagai sumberdaya yang dimiliki tidak haya dinikmati generasi sekarang, dengan menerapkan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan yaitu keadilan antargenerasi, keadilan dalam satu generasi, pencegahan dini kerusakan lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan internalisasi biaya lingkungan. Hal ini selaras dengan konsep pembangunan yang tertuang dalam Bhagavad Gita yaitu pengembangan diri secara spiritual dan moral dengan tindakan karma yoga, dharma,pengendalian diri, moralitas dan etika, kesadaran universal dan keharmonisan dan keseimbangan, untuk mencapai kebahagiaan sejati (Sat-Cit-Ananda) melalui pengembangan karakter, pelaksanaan tugas yang benar, dan pengabdian kepada kebenaran yang lebih tinggi untuk mencapai kesejahteraan, keharmonisan, dan keberlangsungan hidup umat manusia dan alam semesta, stabil memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi mendatang.
*Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung.