Struktur Perekonomian Bali Harus Seimbang Antara Pariwisata, Pertanian, Kelautan dan Industri

 Struktur Perekonomian Bali Harus Seimbang Antara Pariwisata, Pertanian, Kelautan dan Industri

Aktivitas nelayan di kawasan pasar ikan Kedonganan, Badung, Bali.

MANGUPURA – baliprawara.com

Pandemi Covid-19 telah memberikan banyak pelajaran kepada Pemerintah Provinsi Bali. Khususnya di dalam menata perekonomian Pulau Dewata yang diharapkan struktur perekonomian Bali kedepannya bisa seimbang antara pariwisata, pertanian, kelautan dan industri. 

Mengingat selama pandemi terjadi, Gubernur Bali, Wayan Koster telah mencatat ekonomi Bali mengalami ketimpangan yang sangat tajam, yakni 52 persen lebih ekonominya bersumber dari pariwisata. Sedangkan pertanian dan kelautannya hanya sekitar 22 persen. 

Jadi ketika sumber yang besar ini (pariwisata-red) ini terganggu, maka ekonomi Bali langsung mengalami kontraksi. Merujuk atas masalah inilah, di masa pandemi akan pihaknya menjadikan momentum untuk menyeimbangkan struktur perekonomian Bali, antara pariwisata, pertanian, kelautan dan industri. Termasuk dengan cara ekspor. 

Menurut Gubernur Bali, Wayan Koster, Bali di sektor pertanian dan kelautan yang sangat kuat tradisinya dan potensinya, ternyata selama ini tidak pernah diberikan kebijakan yang tepat. Industrinya yang selama ini berkembang secara alamiah, juga tidak melalui desain arah kebijakan yang terencana, terintegrasi, terpadu satu sama lain termasuk ekspor.

Untuk itu, pihaknya akan menyusun agar menjadi sumber atau produk ekspor, dan tahun 2022 bersiap on atau aktif. Mengingat keberpihakan untuk mendukung ekspor dan ekosistemnya selama ini tidak ada. “Tapi Saya salut sudah ada yang jalan secara alamiah ekspornya. Namun sekali lagi, sudah semestinya ekspor produk di Bali ini harus by desain, dipimpin oleh Pemerintah, dan bekerjasama dengan semua stakeholdernya,” kata Koster saat membuka Rakernas Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) ke-1 Tahun 2021 yang sekaligus dirangkaikan dengan HUT ke-60, di Kuta, Badung, Sabtu (26/62021).

See also  6.062 Mahasiswa Baru Ikuti PKKMB Unud

Lebih lanjut dikatakan, saat ini masih ada kebijakan yang berpihak dengan impor. Hal ini kemudian membuat produk-produk lokal menjadi tertekan. Karena Kita sebagai negara agraris, sudah sepatutnya Kita tidak impor beras. Akan tetapi impor berasnya terus. Impor bawang putih juga terus. Kita sebagai negara kelautan, negara maritim, sudah sepatutnya tidak impor garam. Namun garamnya juga impor. “Bagaimana ini? Kebalik-balik kita? Udah ngak benar caranya begini,” ucapnya.  

 

Melihat kondisi itu, Gubernur Koster mengingatkan seluruh GPEI yang ada di Bali, bahwa Pulau Dewata ini punya garam terkenal di Kusamba, Klungkung, di Amed, Karangasem, di Tejakula, Buleleng, hingga di Jembrana. Jadi sangat luar biasa. “Tapi garam di Bali yang begitu bagus kualitasnya, garam kita sebenarnya disenangi di luar negeri, gara-gara garam beryodium menjadikan garam Bali ngak bisa dijual di Pasar Tradisional, karena ada aturannya, jelas Wayan Koster seraya menyatakan kalau mau berpihak pada Indonesia yang kaya raya terhadap pertanian dan kelautannya, maka Kita harus berubah secara politik. (MBP)

 

redaksi

Related post