Tak Ada Pungli Maupun Korupsi di Kasus SPI Unud, prof. Antara Selayaknya Bebas
DENPASAR – baliprawara.com
Sidang dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang menjerat mantan Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof I Nyoman Gde Antara, memasuki agenda pembacaan tanggapan atau duplik atas tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa 13 Februari 2024 ini, tim penasehat Hukum terdakwa, kembali mempertanyakan unsur pungli yang dituntutkan ke kliennya.
Seperti yang disampaikan Gede Pasek Suardika (GPS) selaku penasehat hukum terdakwa, pada awal mulanya, kasus ini dijadikan kasus korupsi. Namun, terbukti JPU kini telah melepaskan aspek penting dari korupsi yaitu unsur kerugian keuangan negara yang dulu telah menghebohkan, di peradilan opini maupun saat dakwaan. Namun sekarang JPU justru beralih fokus mengenakan Pasal 12 e di dakwaan kedua.
Meski demikian, ternyata di dakwaan kedua, JPU juga tidak mampu menghadirkan fakta perbuatan mana yang dilakukan langsung oleh terdakwa. Sehingga harus disebutkan melakukan pidana pungli. Bahkan argumentasi Tim PH agar ditanggapi JPU malah hanya mengambil kesimpulan umum saja dengan kalimat tidak menanggapi. “Ini merupakan preseden yang buruk untuk proses uji materi hukum yang disajikan secara terukur dengan prinsip dan kaidah ilmu hukum dikaitkan dengan fakta hukum di persidangan,” kata pasek usai persidangan.
Ia menambahkan dengan fakta tidak ada Pungli yang dilakukan, sehingga tidak ada keuntungan yang dinikmati terdakwa atau orang lain. Bahkan, tidak ada pemaksaan apapun kepada siapapun terkait dana SPI di Unud yang dilakukan terdakwa. Jika kaitan dengan penerimaan dana SPI, maka posisi Terdakwa tidak bisa mengakses langsung dana tersebut, jika terkait dengan penempatan di bank mitra, maka proses itu adalah proses lembaga yang melibatkan adanya Tim Beauty Contest sejak Rektor yang lama hingga ke Terdakwa.
Keputusan tersebut menurutnya berdasarkan hasil keputusan Tim Beauty Contest yang transparan dan akuntabel. Selain itu dari proses itu justru ada penambahan kekayaan negara berupa aset dan bunga serta manfaat kendaraan operasional yang sebagian besar kemudian menjadi BMN (Barang Milik Negara).
“Menjadi membingungkan kemudian Terdakwa harus bertanggung jawab ketika negara bertambah kaya sebagai institusi Unud lalu malah Terdakwa dikenakan dugaan pidana Pungli,” sentilnya.
Ia bahkan menyebut bahwa JPU selalu beralasan saat unsur dari pungli dipertanyakan oleh Tim PH. JPU kata dia, selalu berkilah kalau Tim PH berusaha mengaburkan fakta dan seterusnya, padahal justru JPU yang kabur bukan lagi sekadar mengaburkan fakta, tetapi telah kabur dari dakwaannya sendiri. “Dimana antara dakwaan dengan tuntutan, telah terjadi perbedaan yang sangat mencolok. Padahal esensi persidangan ini adalah bagaimana Dakwaan bisa dibuktikan di persidangan,” ucapnya.
Jadi pilihan paling adil adalah, memang prof. Antara harus Bebas. Karena dalam hal ini memang tidak ada peristiwa pungli, maupun korupsi. “Nah kalau ngga ada (pungli atau korupsi-red), orang tetap dihukum, itu yang namanya Dark Justice, itu yang namanya kriminalisasi. Itu yang tidak boleh ada di jaman reformasi. Kalau ini sampai dihukum, saya kira baru pertama kali di Indonesia, ada kasus korupsi, dimana negara justru bertambah kaya. Tapi, kalau diputus bebas, memang sudah selayaknya,” ucap Pasek. (MBP)