Tak Jadi Mati, Arja Jago Menyelamatkan Diri

Pementasan Arja Lingsar yang diprakarsai Komunitas Seni Kawiya serangkaian PKB 2025, Selasa (2/6).
DENPASAR – baliprawara.com
Era lampau, dramatari Arja dielu-elukan. Kehadirannya selalu ditunggu di panggung pementasan. Belakangan ketika lahir kesenian yang lain, seperti drama gong, Arja kian jarang manggung. Sempat redup, tapi Arja tak mau mati. Terus berupaya menyelamatkan diri dari kepunahan. Bahkan kesenian ini dinilai paling jago menyelamatkan diri.
Pun, Arja diyakini tak akan mati, sebab bisa beradaptasi di tengah perubahan zaman.
Empat pembicara dalam diskusi bertajuk “Arja Tak Jadi Mati”, sangat yakin Arja akan selalu hidup. Diskusi yang dirangkaikan dengan pementasan dramatari Arja di Gedung Ksirarnawa, Art Center Denpasar, Selasa 24 Juni 2025, dipersembahkan oleh Komunitas Seni Kawiya Bali, serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47.
Dipandu Jero Penyarikan Duuran Batur, seniman Arja yang Rektor Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali, Prof. Dr. Drs. I Made Suarta, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa Arja tidak akan pernah mati, sepanjang masih ada agama Hindu dan adat istiadat Bali. Penonton mungkin menurun, tapi napas Arja tetap ada.
Kata Prof. Suarta, Arja pertama kali muncul di Klungkung sekitar tahun 1814, dikenal dengan nama Arja Dadap, sebelum menyebar ke seluruh Bali termasuk Singapadu yang kini menjadi pusat Arja, juga Keramas Gianyar, Sibang Badung dan beberapa daerah di Jembrana.
Arja kemudian masuk ke radio melalui RRI Denpasar berkat tokoh seperti Made Kredek, ayah dari Prof. Made Bandem dan Geriya, ayah dari Prof. Wayan Dibia.
“Saat ini, Arja masih aktif di daerah seperti Singapadu dan Keramas. Bahkan, Arja tidak pernah absen dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Dulu hanya sekadar balih-balihan (hiburan), kini menjadi bagian dari bebali (pertunjukan suci), bahkan sering dipadukan dengan upacara nedunang sesuhunan,” tambah Prof. Suarta.
Hal senada disampaikan seniman Dr. I Ketut Kodi, SSP., M.Si., yang dosen ISI Bali. Kata Kodi, Arja menyimpan kekuatan luar biasa karena menggabungkan sastra, pupuh, bahasa Bali, dan kekuatan olah napas (pranayama).
Bahkan diakui, menarikan Arja paling sulit dibandingkan dengan seni yang lain.
Sebab, harus menguasai tarian, gending, makna filsafat, dan gamelan.
Selain PKB, Arja diselamatkan eksistensinya oleh RRI Denpasar. Setiap Hari Minggu, RRI selalu menyiarkan kesenian Arja. Karena itu Kodi
berharap agar Arja di RRI tetap dihidupkan. Pemerintah Bali diminta serius mempertahankan ruang siar tersebut.
Praktisi seni I Wayan Sudiarsa, S.Sn., M.Sn., dari Sanggar Gita Semara Peliatan, Gianyar juga menyampaikan optimismenya terhadap kelangsungan Arja.
Ia yang mulai bergelut secara serius di dunia Arja sejak 2019, menyebut bahwa Arja kini harus bersaing dengan sinetron dan hiburan populer lain.
“Kami tetap pentas setiap enam bulan. Bahkan saat pandemi, kami merancang pertunjukan Arja Lingsar di Pura Desa Adat Ubud. Sajian Arja ini untuk nedunang sesuhunan, agar tak selalu dengan Calonarang,” jelasnya.
Jurnalis budaya Made Adnyana Ole menyampaikan Arja sempat terancam punah di tahun 1970-an karena salah satu penyebabnya para penari perempuan banyak yang menikah. Hal itu sempat terjadi di kampung halamannya, Banjar Ole Marga Tabanan.
Namun Arja diselamatkan oleh Arja Bonan yang meminjam penari dari daerah lain.
Ia juga menyebut
RRI penyelamat Arja. Belakangan, Arja juga cukup pleksibel. Tak mau mati, akhirnya muncul Arja muani yang pemainnya semua laki-laki.
“Arja sangat fleksibel dan bisa beradaptasi seperti salah satunya yang dilakukan oleh Prof. I Wayan Dibia yang mengangkat novel Sukreni Gadis Bali karya AA Pandji Tisna sebagai lakon,” kata pemilik media Tatkala.com tersebut. Baginya, Arja punya keunggulan yakni sastra yang dinyanyikan. Arja juga memiliki keunggulan estetika.
Kemudian, tantangan Arja saat ini adalah durasinya yang panjang. Di tengah era digital, orang hanya sanggup menonton 1–7 menit. Karena itu menurut Ole, durasi Arja perlu diperpendek, tanpa menghilangkan pakemnya. Kemudian dinaskahkan. Sehingga Arja tetap hidup di dunia yang serba cepat.
Arja Lingsar
Sementara itu Sekaa Arja Gita Semara dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar menjadi penyaji karya, dengan konsep yang ditata oleh I Wayan Sudiarsa dan I Wayan Sukra, serta musik garapan Gamelan Suling Gita Semara. Dalam pertunjukan ini, Arja dikemas sederhana, namun sarat makna.
Pementasan dilakukan dalam posisi duduk (lingsar) dengan busana minimalis, namun tetap mematuhi pakem Arja secara penuh, mulai dari struktur papeson hingga jangkep.
Lingsar, atau Linggih Sarat, melambangkan makna mendalam: duduk dengan penuh kesungguhan dan kesadaran, menyampaikan petuah-petuah kehidupan melalui sastra dan nyanyian.
Dengan tema “Ruwat Gumi”, Arja Lingsar menyuarakan keresahan masyarakat Bali di tengah gempuran modernitas dan pariwisata.
Mulai dari isu global hingga problematika lokal, karya ini menjadi refleksi sosial yang mengajak pemirsa kembali ke jati diri dan spiritualitas Bali.
Melalui lakon ini, masyarakat diajak untuk memohon pengampunan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan berharap pulihnya keharmonisan semesta.
Tak hanya menyuguhkan dramatari, Arja Lingsar memperkaya panggung dengan kolaborasi tiga kesenian Bali: Arja, Sanghyang, dan Gambuh.
Unsur musikalnya menggali pola-pola gegendingan Rangda dengan menggabungkan struktur Sesanghyangan dan Pegambuhan.
Salah satu yang paling kuat adalah “Cihna Angga”, nyanyian yang menggambarkan sosok Rangda dari ujung rambut hingga kaki, sebuah bentuk nyihnayang angga yang dalam dan simbolis. (MBP2)