Tanda Tanya di Balik Kandang
DENPASAR – baliprawara.com
Penyebab kematian babi di sebagian besar wilayah Bali masih menjadi tanda tanya besar sejak kasus tersebut bergulir Desember 2019. Instansi terkait sejauh ini belum memberikan penjelasan mengenai apa dan bagaimana menanggulangi penyakit mematikan pada babi tersebut. Pemprov Bali sempat menyatakan akibat African Swine Fever (ASF). Namun, hanya berselang sehari pernyataan tersebut diralat menjadi suspect ASF.
Di tengah kegamangan sikap instansi terkait bahkan mengenai data jumlah babi yang mati, peternak berjuang sendirian menghadapi kerugian. Bagaimana tidak, memelihara babi butuh biaya cukup besar. Biaya pembelian bibit, pakan ternak, air, listrik, pemeliharaan kandang hingga tenaga yang peternak keluarkan terbuang sia-sia manakala babi yang mereka pelihara mati sebelum masa panen. Hari raya Galungan yang seharusnya menjadi momen suka cita peternak karena lonjakan permintaan daging babi untuk upakara dan konsumsi, justru diwarnai kecemasan.
Tak hanya itu, peternak juga kesulitan memusnahkan bangkai babi. Jika dikubur, lahan tidak ada. Dibakar juga demikian, perlu biaya dan waktu tidak sedikit. Maka, sejumlah peternak mengambil jalan pintas. Mereka memilih membuang bangkai babi ke sungai. Seperti di Kabupaten Tabanan, bangkai-bangkai babi yang dibuang ke sungai akhirnya menumpuk di Bendungan Telaga Tunjung sehingga mencemari lingkungan.
Entah harus menunggu berapa lama lagi munculnya kepastian mengenai kasus kematian babi. Masyarakat khususnya peternak sudah cukup lama bersabar menunggu pernyataan resmi pemerintah. Mereka berharap pemerintah tidak abai dalam persoalan ini. Sebab jika dibiarkan lama, bisa jadi dapat memicu gesekan di masyarakat. Misalnya jika kasus pembuangan bangkai babi masih berlanjut, warga daerah hilir sungai tentu akan sangat terganggu akibat ulah peternak di hulu.
Pemerintah juga tak boleh lupa dengan semangat menjaga ketahanan ekonomi Bali. Peternakan babi mulai dari skala kecil, tentu memberikan kontribusi atas perekonomian. Sektor peternakan bahkan seharusnya didorong dan difasilitasi agar berkembang pesat sebagai bentuk komitmen diversifikasi ekonomi Bali di luar pariwisata yang rentan terhadap berbagai isu.
Di sisi lain, pernyataan Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia Provinsi Bali Ketut Hari Suyasa bahwa babi bukan hanya bernilai ekonomis bagi masyarakat Bali melainkan berkaitan erat dengan budaya, patut direnungkan mendalam. Babi sejak lama digunakan sebagai bahan upakara dalam pelaksanaan berbagai ritual umat Hindu di Bali. Tradisi mepatung dan nampah telah terbukti mampu merekatkan tali persaudaraan orang Bali.
Jadi, mari berharap pemerintah segera memberikan solusi dan perlindungan kepada peternak. Jangan sampai akar budaya Bali ini musnah akibat kita mengabaikan kasus kematian babi yang terjadi saat ini. (praw2)