Teknologi Informasi Berpengaruh Besar Terhadap Seni Kini

Narasumber dan moderator aguron-aguron “Teknologi Informasi dalam Seni Kini” FSBJ VII di Taman Budaya, Jumat 25 Juli 2025.
DENPASAR – baliprawara.com
Transformasi teknologi informasi (TI) telah memberi pengaruh besar pada praktik seni kini — seni modern atau kontemporer. Hadirnya kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intellegence), realitas virtual, media sosial, dan berbagai platform digital, membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam proses penciptaan, kolaborasi dan interaksi seni.
“Salah satu terobosan teknologi yang menciptakan gelombang besar dalam industri kreatif atau seni digital adalah AI. Teknologi kecerdasan buatan ini telah memunculkan beragam peluang baru bagi para seniman. Banyak seniman menciptakan karya seni yang menggabungkan seni visual dengan AI, robotika atau algoritma komputer,” ujar Wahyu Indira, S.Sn., M.Sn. saat menjadi narasumber dalam Lokakarya (Aguron-aguron) bertajuk “Teknologi Informasi Dalam Seni Kini” serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) VII 2025, Jumat 25 Juli 2025 di Taman Budaya Bali, Art Center Denpasar.
Selain Wahyu Indira yang dosen ISI Bali, Aguron-guron ini juga menampilkan narasumber I Made Suandana Astika Pande, S.Kom., M.Kom., dosen ITB STIKOM Bali.
Aguron-guron itu dipandu Drs. I Made Subrata, seorang jurnalis yang editor seni.
Di balik pengaruh dan peran besar AI dalam seni, menurut Wahyu Indira, kehadirannya menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang menarik tentang hak cipta, kreativitas, originalitas, etika dan peran seniman dalam seni.
“Di tengah kontroversi itu, AI selayaknya digunakan sebagai alat kreatif dan partner kolaborasi seniman untuk menghasilkan karya yang dinamis dan inovatif,” kata
Wahyu Indira yang membawakan materi bertajuk “Imaji Imitasi: Evolusi dan Originalitas Seni.”
Hal senada disampaikan Astika Pande bahwa teknologi informasi berdampak besar terhadap seni. Melalui teknologi informasi, seni lebih terhubung dengan teknologi. Demikian juga melalui teknologi informasi, kesenian berbasis digital tumbuh dan berkembang pesat. Misalnya, seni digital, musik elektronik, dan film CGI– Computer Generated Imagery.
Selebihnya, lanjut Astika Pande, teknologi informasi dapat mendistribusikan karya seni secara global tanpa batas wilayah.
Teknologi informasi juga mendorong seniman menghasilkan inovasi baru, menciptakan bentuk-bentuk seni baru seperti seni digital, virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).
“Teknologi informasi juga mampu menciptkan kolaborasi. Dalam konteks ini seniman dari berbagai negara bisa berkolaborasi secara real time melalui teknologi digital,” ujar Astika Pande yang pada acara tersebut membawakan materi bertajuk “Menjaga Jiwa Seni Di Era Teknologi”.
Selain berdampak positif, teknologi informasi juga memiliki sisi negatif. Beberapa karya seni akan kehilangan nilai historis atau budaya saat diproduksi secara digital. Selain itu, banyak terjadi duplikasi karya seni atau mengambil dan menggunakan karya seni orang lain tanpa izin. Ketika seni tersebut dikomersialisasi secara massal terkadang mengurangi nilai seni sebagai ekspresi kreatif murni.
Tetapi mesti diingat kata Astika Pande, seni adalah ekspresi jiwa, nilai budaya dan repleksi atas pengalaman hidup manusia. Seni juga adalah proses, niat, konteks dan komunikasi yang memberi makna. Karena itu nilai-nilai seni tersebut harus tetap menjadi fondasi di tengah gempuran teknologi informasi.
Diskusi Hangat
Sementara itu materi yang dibawakan kedua narasumber cukup menarik dan mampu memantik diskusi hangat, terutama kaitannya dengan hak cipta, originalitas karya. Bahkan, ada pemikiran agar literasi AI lebih ditingkatkan di kalangan masyarakat.
Acara Aguron-aguron tersebut dihadiri sejumlah siswa SMKN 1 Denpasar, siswa SMK TI Global, sejumlah mahasiwa ISI Bali, mahasiswa ITB STIKOM Bali dan beberapa guru dan dosen, serta dua orang kurator FSBJ 2025, yakni Ida Bagus Martinaya dan Made Adnyana. (MBP2)