Tergerus Zaman, Nyanyian Pengiring Tari Sanghyang Jaran Mulai Dilupakan
MANGUPURA – baliprawara.com
Pura Dalem Solo, Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Badung, memiliki tradisi unik untuk penolak bala. Yakni melalui pementasan tari Sanghyang Jaran. Tarian sakral ini sudah sejak turun-temurun, ditarikan pada sasih kalima (kelima) menurut kalender Bali, hingga pada sasih kapitu (ketujuh).
Menurut salah seorang panglingsir di Pura Dalem Solo, I Gusti Ngurah Ketut Sarga (73), saat ditemui belum lama ini, mengatakan bahwa tarian Sanghyang Jaran, berhubungan erat dengan upacara nangluk merana atau penolak wabah di masyarakat sekitar Pura Dalem Solo. Wabah yang dimaksud seperti penyakit yang menimpa masyarakat dan juga hama yang merusak persawahan.
Seperti kepercayaan masyarakat di Bali, pada sasih kalima (kelima), kaenam (keenam), hingga kapitu (ketujuh), dianggap sebagai sasih yang riskan karena kondisi alam atau cuaca yang kerap berubah-ubah. Puncaknya adalah sasih kaenam, yang mana, biasanya masyarakat rentan terserang wabah penyakit, seperti demam, pilek, demam berdarah, dan sebagainya karena curah hujan yang tinggi.
Terkait hal itulah Tari Sanghyang Jaran tersebut hanya dipentaskan saat sasih kelima atau kaenam, bahkan terkadang bertepatan dengan hari suci tertentu. Ada beberapa nyanyian yang dilantunkan untuk mengiringi tari Sanghyang Jaran. Nyanyian pertama berisi bait-bait untuk mengundang Sang Hyang Jaran supaya ada salah satu yang dimasuki rohnya. Setelah itu, penari yang yang sudah dirasuki sanghyang jaran, akan mandi api. Meski penari mengacak-acak berapi yang ada di depannya, namun sedikitpun ia tidak terlihat terbakar. Penari Sanghyang Jaran kemudian bergerak sesuai nyanyian tersebut. Meski matanya terpejam, namun gerakannya sangat lincah, seolah-olah matanya terbuka.
Di dalam Tari Sanghyang Jaran, selain upakara, nyanyian pengiringnya menjadi salah satu kunci untuk membuat warga karauhan atau trance. Nyanyian yang sakral tersebut diulang-ulang dengan ritme yang diatur sedemikian rupa hingga secara tidak langsung akan mengaktifkan energi seseorang hingga jadi trance atau karauhan.
Namun demikian, di tengah pesatnya perkembangan zaman, perlahan nyanyian untuk mengiringi Tari Sanghyang Jaran ini, mulai dilupakan. Tentu kata dia, ini menjadi tantangan untuk bisa terus mengenalkan kepada generasi berikutnya agar warisan turun temurun ini tidak hilang begitu saja.
Untuk bisa diwariskan ke generasi berikutnya, Sarga mengatakan, nyanyian-nyanyian dari tari Sanghyang ini, akan disusun ke dalam sebuah buku yang memuat pengiringan tatian sanghyang. “Ini sudah warisan turun temurun ,tentu harus dilaksanakan karena sudah tersurat di dalam purana yang dimiliki. Banyak nyanyian-nyanyian yang dilupakan. Saat ini sudah kembali disusun, agar anak-anak bisa lebih mudah mempelajarinya,” ucpanya.
Penglingsir sekaligus Tim lembaga pelestarian cagar budaya Pura Dalem Solo, Jero Mangku Batur (66) menambahkan, pada saat pecahnya peristiwa G30S/PKI, selama beberapa tahun tarian Sang Hyang Jaran sempat vakum karena suasana mencekam. Akhirnya wabah pun menyerang. Banyak warga yang sakit dan panen pun gagal. Akhirnya ketika situasi mulai pulih, tarian tersebut kembali digelar hingga kini.
Tahu 1964 saat terjadi huru-hara, saat itu ada pewuwus di Pura. Beliau tedun dari pemangku setempat yang menyebut kalau saat itu tahun 1964 akan terjadi perpecahan politik. Banyak warga yang meboya atau tidak percaya. Akhirnya setelah 6 bulan sejak itu disampaikan, benar saja mereka yang tidak mempercayai itu, ternyata menjadi korban terkena G30 S.
Dikatakan, tari Sanghyang Jaran ini, sebagai penetralisir alam atas dan alam bawah yang digelar saat tilem Kalima. Karena saat itu, merupakan saat peralihan yang tentunya akan banyak bermunculan wabah penyakit. “Oleh karena itu, secara turun-temurun kalau tidak ada halangan apa, pementasan tari sanghyang jaran ini tetap digelar,” ucapnya. (MBP1)