Tetap Berbasis Tradisi, Selonding Pengembangan Sanur Kauh Bawakan Empat Karya
DENPASAR – baliprawara.com
Sanggar Wesi Cwaram, Banjar Puseh Kangin, Desa Sanur Kauh, Duta Kota Denpasar, mempersembahkan kesenian pegembangan berbasis tradisi kesenian selonding pada ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV Tahun 2023 di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali (Art Center) Bali, Sabtu (24/6) sore. Ada empat materi yang disajikan selama durasi satu jam tersebut.
Karya pertama yang ditampilkan yakni tari kreasi rerejangan berjudul “Ceniga’ atau yang biasa disebut Lamak adalah semacam taplak yang terbuat dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Lamak ditempatkan diruang-ruang kecil atau rong pada bangunan pura di Bali. Di dalam lamak terdapat berbagai ukiran yang bermakna sebagai simbol-simbol agama. Yakni simbol gunung, symbol kayonan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari dan lain sebagainya. Makna dari lamak atau ceniga ini yaitu sebagai lambing pijakan manusia untuk menapaki hidup dalam sebuah pusaran waktu menuju kesejatian.
Penampilan kedua ditampilkan Tabuh berjudul “Lintang Segara”. Lintang Segara atau Bintang Laut menjadi tajuk perspektif karya ini. Karena selain mengacu ke tema Segara Kerthi, banyak sudut pandang dari bintang laut yang menjadi acuan untuk mengimplementasikan ke dalam bentuk komposisi musik. Bentuk bintang laut yang mempunyai lima buah sudut menjadi cerminan untuk mengaplikasikan dan mengolah birama ganjil/ternair pada karya ini. Fisik bintang laut yang berduri di bagian atas dan lembut di bagian bawah dapat direfleksikan ke dalam dinamika karya. Selain itu, bentuk dan warna bintang laut yang estetik menginspirasi untuk memberikan sentuhan yang unik pada karya ini.
Sementara penampilan ketiga yakni tari kreasi “Satyaning Segara” yang diangkat dari cerita tradisi Ngaro yaitu tradisi kuno berasal dari tanah Madura Jawa yang dilaksanakan oleh warga keturunan Raja Madura di Banjar Madura Desa Adat Intaran Sanur. Tradisi Ngaro merupakan suatu bukti tanggung jawab dan kewajiban seorang raja Arya Medura akan janjinya dengan laut sehingga tercetus ide untuk penggarapan tari Satyaning Segara ini. Dalam garapan, penata tertarik untuk menggambarkan secara singkat kehidupan rakyat Arya Madura dengan sang raja Arya Kuda Pinolih yang akan mengadakan tradisi Ngaro. Tradisi ngaro dimana rakyat Madura Jawa membawa banten gebogan lalu berjalan ke pura di tengah Pantai Karang Sanur pada Purnamaning Sasih Kapat.
Sedangkan persembahan terakhir, ditampilkan tari kreasi “Sagsag” yang menceritakan sebuah istilah pergerakan muara di laut yang tidak bisa dikondisikan secara fisik, namun dia akan bergerak mengikuti siklus alam dan pasang surutnya air laut. Sagsag ini muncul diakibatkan oleh komponen tepi laut yang berupa pasir kapasitas kemunculannya selalu berubah. Perubahan itu tidak bisa diprediksi dengan akal sehat terlebih lagi diarahkan dengan kekuatan manusia namun kemunculan pasir ditepi laut yang menyebabkan muara berubah adalah sistemiknya kosmik, bumi mengelilingi matahari, disertai bulan mengelilingi bumi, mengelilingi matahari yang mengakibatkan pasang surut air laut.
Koordinator penampilan, I Made Widiartha S.Pd menjelaskan pengembangan berbasis tradisi kesenian selonding ini yakni dengan penambahan beberapa alat musik pengiring. Namun tidak menghilangkan esensi dari selonding. “Kita menonjolkan selondingnya. Untuk pengembangan yang dimaksud di sini yakni gamelan selonding kami kembangkan dengan ditambah kendang, diiringi tari-tarian dengan nada-nada selonding. Jadi saya mengembangkan tapi tidak menghilangkan yang namanya tradisi selonding itu. Tetap menggunakan pakem gamelan selonding,” ujarnya.
Diakui, proses kreatif dari penunjukan sampai latihan dimulai sejak Januari 2024. Widiartha menyebut proses latihan memang sedikit mengalami kendala. Lantaran masing-masing seniman muda yang tampil, tidak hanya tampil di satu materi. Sehingga untuk mencari waktu latihan memerlukan kesabaran. “Para pemain yang tampil hati ini tidak ikut satu materi PKB saja. Mereka orang-orang kreatif yang juga ikut materi lainnya. Jadi kendalanya di waktu latihan. Mungkin latihan intensnya selama dua bulan,” katanya.
Karena menonjolkan selonding, lanjutnya proses tabuh kreasi agak rumit. Namun demikian, syukurnya para seniman tabuh selonding yang ditunjuk sudah memiliki dasar atau basic, sehingga tidak mengajar dari nol. “Kalau bermain selonding itu kita memakai dua tangan. Teknik pukulan dan lain-lain sangar perlu belajar. Kebetulab oara pemain ini saya bina dari kecil di sekaa. Kendalanya hanya waktu latihan,” pungkasnya sembari berterimakasih kepada Pemkot Denpasar karena diberikan kesempatan tampil di PKB. (MBP)