“The Octopus Queen” Karya Seni Putrayasa, Arca yang Menjelma Berhala Modernitas

 “The Octopus Queen” Karya Seni Putrayasa,  Arca yang Menjelma Berhala Modernitas

The Octopus Queen, karya seniman I Ketut Putrayasa

Oleh: Tatang B.Sp
(Pelukis dan penulis)

MUNGKIN agak spekulatif, tapi ini bukan lelucon. Di tahun 2024, Tim Coulson dalam sesi wawancara dengan media London,The European, mengatakan bahwa gurita adalah kandidat yang lebih potensial, ketimbang hewan lain, untuk mengisi peran ekologis dan membangun peradaban pascamanusia.

Pendapat profesor bidang zoologi dari Oxford University itu senada dengan apa yang diungkap Dr. Jenifer Mather, ahli cephalopoda dari University of Lethbridge, Kanada.
Ia dilengkapi sembilan otak yakni satu otak pusat dan delapan otak satelit pada setiap tentakelnya. Gurita merupakan invertebrata tercerdas di planet ini. Menunjukkan kognisi yang kompleks, ia mampu menyelesaikan masalah, juga dapat memecahkan teka-teki rumit. Bisa membedakan mana nyata dan mana yang virtual, bahkan bisa menyimpan dan mentransfer informasi visual seperti “bahasa tertulis” pada kulitnya.
Dengan struktur neuron yang canggih dan kemampuan motorik berkembang baik, serta memiliki perencanaan masa depan, cephalopoda ini berpotensi membangun komunitas bawah laut menyerupai kota-kota di darat.
Fakta yang lain, gurita bisa beradaptasi dan berevolusi dengan cepat. Tak heran, jika itu semua menjadikan gurita sebagai kandidat kuat penerus dominasi manusia di bumi.

Tapi bukan itu. Saya hendak bicara tentang gurita dalam wujud lain: karya seni instalasi dari anyaman bambu yang menjulang dengan ketinggian 25 meter. Menancap kokoh di atas perbukitan karang Pulau Nusa Penida, tepatnya di kawasan Broken Beach. Ini pulau yang terbentuk dari batuan sedimen tersier dengan litologi utama batu gamping terumbu. Di tengah morfologi karts yang khas, karya seni instalasi itu tampak bersaing dengan kontur tinggi rendah bentang alam yang melingkupinya. Sementara itu dengan tatapan seluas pandang, kita dipukau oleh eksotika laut luas yang menjadi latar belakangnya.

“The Octopus Queen”, demikianlah judul seni instalasi karya I Ketut Putrayasa. Berbahan bambu, dianyam langsung pada kerangka logam yang telah berdiri, menjadikan seluruh prosedur kekaryaan berlangsung secara spesifik. Pada umumnya, tahap penganyaman bambu diselesaikan saat sebelum kerangka penyangga berdiri, bukan? Apalagi dengan ukuran gigantik, tentu keseluruhan proses produksinya menuntut kecakapan teknik yang khusus.

Adalah sosok perempuan dengan mahkota berhias 21 tentakel gurita, demikian wujud The Octopus Queen. Penggambaran mahluk imajiner, paduan manusia dan binatang. Mahluk mitologis yang mengingatkan kita kepada Medusa, Si Rambut Ular, dalam cerita Yunani Kuno. Kita merasa, ia tiba-tiba muncul dari kedalaman perbukitan karang Nusa Penida yang dibentuk jutaan tahun lalu, terutama periode Pliosen. Katakanlah, ia jelmaan purba, mahluk masa lampau yang hadir dalam wujud baru karena ubah angsur evolusi. Bisa bertahan hidup hingga masa kini, oleh sebab seleksi alam.
Kita saksikan, kedua tangannya tampak sedang mempersembahkan sekuntum teratai. Jenis bunga yang mekar bersama matahari pagi dan menguncup di saat senja, lantas mekar kembali saat terbit matahari. Begitu terus-terusan. Keberulangan yang demikian, lazim dianggap sebagai simbol pasang surut dan transformasi dalam siklus kehidupan. Sementara itu, ekspresi wajahnya tak ada gejolak, sosoknya menunjukkan sikap tenang. Tapi tetap menyiratkan kewaspadaan: mengawasi sesuatu yang dianggap mengganggu, dengan seluruh tentakel yang siap menjulur sebagai petunjuk dominatif terhadap apa yang mungkin mengancam. Dengan cepat, kita boleh menerka bahwa ia mahluk yang hadir dari dunia gelap. Sebuah dunia ganjil yang tak dikehendaki, tapi sekaligus diharap hadirnya.
Tak lain, ia hadir mewakili penguasa atas dunia yang saling berlawanan. Datang sebagai personifikasi sifat ganda pada satu sosok. Padanya ada dualitas saling melengkapi, sedemikian hingga bersemayam dalam satu tubuh. Sebuah gambaran kompleks hendak diabadikan: ia pengancam, sekaligus pelindung.
Kehadiran karya seni instalasi bambu itu, seolah cerminan paradoks dalam dirinya. Di satu segi sebuah mitos tak hendak dikibarkan, tapi segi yang lain mitos yang baru siap dilahirkan. Itulah sebabnya ia tampak aneh bagi seluruh pemujaan yang dibangun di sana. Lalu, yang kita tahu adalah ujungnya berakhir dalam absurditas.
Beda dengan mitos zaman lampau, The Octopus Queen tak terhubung dengan ritus suci: ia berdiri sebagai entitas pasca-auratik, tanpa takhayul, dan kehilangan kesakralan. Berhadapan dengannya, tak membuat kita tergetar dan khidmat. Barangkali kita akan berlama-lama memandang sosok itu dengan rasa kagum, berswafoto, dan menikmati sebagai perayaan khas kehidupan pascamodern kita. Meski akhirnya kita tahu, itu hanyalah sebuah reproduksi hasrat budaya masyarakat konsumen, yang boleh jadi menyusup di balik wajah kapitalisme yang disebut sebagai industri wisata. Ia menjadi sejenis pemujaan baru yang bernama berhala modernitas. Kehadirannya membawa pesona sihir yang lain.

Yang Kuat Sebagai Pemenang

Tahun 1864 Herbert Spencer, seorang sosiolog dan filsuf Inggris, mengajukan frasa masyhur “survival of the fittest” dalam buku Principles of Biology. Lebih lanjut, frasa tersebut dipopulerkan oleh Charles Darwin untuk memperkuat ambisi besar teori evolusi, lewat jalur seleksi alam. Hanya organisme yang adaptif dengan lingkunganlah yang akan bertahan hidup dan bereproduksi, demikian ungkapnya.
Frasa itu menjadi support pemikiran Darwinisme Sosial abad ke-19: individu atau kelompok manusia, seperti halnya tanaman dan binatang, bersaing satu sama lain untuk bertahan dan unggul. Percaya bahwa konsep seleksi alam juga berlaku pada kehidupan sosial manusia yakni yang paling kuat dan adaptif akan mempertahankan diri di tengah kepunahan yang lain.
Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah, abad ke-19 adalah etos yang dirayakan oleh gagasan persaingan dan kompetisi. Itulah yang terjadi ketika masyarakat Eropa hendak mempercepat kemajuannya. “Survival of the fittest ” dijadikan aspirasi kolektif ketika persaingan dan kompetisi antarmanusia menemukan alasan pembenarnya. Keduanya merupakan kelumrahan, sebab hanya kelompok individu paling kuat yang berhasil membawa kemenangan. Berkat itu, industrialisasi di Inggris dulu berjalan lebih mantap dan lebih gemilang pada masa berikutnya– meski juga dibarengi murung kemanusiaan dalam perjalanannya.

See also  Sekda Adi Arnawa, Hadiri Peresmian Gedung Polres Kawasan Bandara Ngurah Rai

Lantas, apa kehebatan mahluk imajiner itu? Ia datang dari dunia bawah yang gelap. Mengungkap destruksi tak terduga, menembus dari kedalaman bebatuan bukit karang keras, tempat menampakkan dirinya. Ia hadir dengan kekuatan seakan-akan hendak menyatakan tak ada kemustahilan bagi dirinya. Lebih jauh lagi, ia menjelma sebagai metafora tentang hidup hanya milik yang terkuat.

Kentaralah bahwa Putrayasa sedang menciptakan karakter yang representatif dalam hubungannya dengan konteks sosial yang lebih luas.
Celah-celah anyaman bambu dilewati hempasan kencang angin laut. Tubuh patung itu menjadi medium sirkulasi masuk dan keluarnya angin. Yang tertampung di dalam tubuh terus bergerak liar sebelum akhirnya keluar, lalu tubuh menyambut kedatangan yang baru. Begitu terus, tak berhenti. Bayangkanlah tentang apa saja yang bisa datang dan bisa pergi. Tubuh yang kuat itu senantiasa menampung segala yang liar, kacau dan tak bersahabat. Semuanya dikuasai ke dalam kendali tubuh.
Soal mengolah apa yang liar dan bertentangan, barangkali kita bisa berbicara tentang anarki: siapa kuat, dialah yang menang. Dengan ukuran gigantik, The Octopus Queen karya Putrayasa itu, merupakan sebuah isyarat intimidatif. Tentang apa yang besar bisa jadi terhubung dengan apa yang kuat. Dalam konteks tertentu, yang kuat diterjemahkan sebagai dominasi satu kelompok kepada kelompok lain dalam bidang ekonomi.Yang kuat menandai surplus kekayaan, sementara yang kecil menjadi defisit.

“Survival of the fittest” tak meladeni corak yang lain, kecuali alur garis lempang menuju titik akhir: hanya yang bermodal yang layak berkuasa. Maka yang berlangsung di situ adalah satu episode borjuisasi yang menjadikan kekayaan menumpuk dan memuncak pada kaum elit. Dengan lain perkataan, kelompok individu yang menempati ketinggian hierarki ekonomi memang pantas bertengger di singgasananya. Karena, mereka telah membuktikan diri paling kuat untuk bertahan dan mendominasi. Yang kuat berhak untuk berkembang dan sejahtera.
Saksikanlah apa yang terjadi di sekitar kita. Orang-orang berhimpun di dalam kerumunan jual beli yang sedang berlangsung. Kita pun masuk ke dalam kancah perdagangan dan membentuk apa yang sering disebut sebagai masyarakat ekonomi. Maka, setiap orang sepenuhnya menjadi “manusia pasar”. Di situlah kita menyaksikan bagaimana manusia Bali, yang berjumlah besar, sedang berjuang di tengah hiruk-pikuk pariwisata sebagai pasar; tempat di mana kaum pebisnis elit industri wisata, yang hanya berjumlah kecil, sedang mengorkestrasi sirkus jual beli.

Demikianlah, The Octopus Queen mengalirkan daya “survival of the fittest “. Tonggak bagi supremasi kaum elit yang percaya bahwa kemenangan terhubung dengan hukum besi yakni saat alam melakukan seleksi. Oleh sebab itu, pelbagai cara dan upaya yang bermaksud menyangkalnya akan berakhir sia-sia belaka. Di dalam frasa yang maut itu, aksioma secara diam-diam diselipkan: memang begitulah dari sananya, di luar itu tak ada kuasa apa-apa,dan tanpa harus ada pembuktian apa-apa. Sesuatu yang sudah dipatok dari awal itu dianggap determinasi yang alamiah, maka manusia tak memiliki kendali atasnya. Setiap orang hanya bisa tunduk dan patuh mengikuti.
Tapi dalam perjalanan, pencangkokan teori seleksi alam Charles Darwin pada konsep Darwinisme Sosial pernah bermasalah. Ia membawa dunia terperosok ke puncak tragis. Sebagai pembuka pintu bagi imperialisme, fasisme, dan Nazisme di Eropa. Itu terjadi pada pertengahan abad ke-20. Membenarkan dominasi satu bangsa atas bangsa lain melalui gagasan “survival of the fittest”: bertahan hidup hanya milik yang terkuat.
Kita ragu, adakah kita punya banyak pilihan? Lalu apakah dengan demikian “survival of the fittest” telah kehabisan darah? Tentu tidak. Bagaimana pun gurita kapitalisme terus menancapkan dirinya ke tanah-tanah perawan dan ekspansi menuju koloni-koloni nun jauh dari metropolis kaum borjuis. Ia terus sibuk menghimpun lebih banyak lagi modal. Turut memberi nyawa liberalisme, kapitalisme dan globalisme, itu kita tahu. Ketiganya jadi penopang jalan bagi imperialisme dan kolonialisme gaya baru, itu juga kita tahu.
Siapa yang di luar prinsip kapitalisme akan terlempar jauh ke daratan asing. Tak bisa disangkal, ideologi pasar itu tak pernah abstain. Menggurita, dengan tentakel-tentakel yang membelit dan mencengkeram apa pun, serta melakukan ekspansi ke mana-mana, hingga menemukan bentuknya dalam apa yang disebut kapitalisme global. Sebuah ideologi pasar dunia: setiap negara dan masyarakat di belahan dunia mana pun saling terhubung lewat jalur perdagangan, investasi, dan guyuran modal. Dominasi korporasi transnasional, akumulasi modal, dan persaingan pasar yang meluas ke seluruh dunia menjadi cirinya.
Lalu, jejaring perusahaan multinasional pun beroperasi melintasi batas-batas negara. Lihatlah, Bali adalah halaman depan Indonesia, tempat bertemunya kekuatan ekonomi global. Sebuah wilayah yang melaju pesat oleh asuhan industri wisata semenjak masa kolonial. Di masa sekarang, industri pelancongan itu semakin mapan, yang ditopang 59,2 persen investasi asing dari keseluruhan nilai investasi. Itu mengalir dalam bisnis utama: hotel, restoran, dan perumahan bagi para ekspatriat. Memang itu bukan sekadar kegiatan rekreasi,tapi industri wisata juga sebagai instrumen untuk mempertahankan denyut nadi kapitalisme. Bahkan tak kurang-kurang, Robert Fletcher, profesor pada Sociology of Development and Change, Wageningen University, berujar bahwa ekspansi industri wisata internasional adalah satu cara penting bagi kapitalisme dalam mempertahankan diri dari ancaman kontradiksi inheren, demi keberlangsungan hidupnya pada jangka panjang.
Yang menakjubkan adalah gurita memiliki kemampuan mengubah warna tubuh, pandai memanipulasi objek bahkan bisa menyesuaikan diri secara presisi pada lingkungan; mengubah tekstur dan warna tubuh semirip bebatuan, karang, tetumbuhan laut, dan benda apa pun di sekitarnya. Juga akan melakukan regenerasi andai tentakelnya hilang. Hal itu mencerminkan tanda penting adaptasi lingkungan baru dan sebagai upaya transformasi diri terus-menerus. Begitu pula yang terjadi pada fenomena pasar kapital. Ia mensyaratkan kemampuan merespons tatanan baru yang berubah dengan cepat, agar bisa tetap relevan dengan dinamika ekonomi, utamanya lingkungan pasar dan kebutuhan konsumen.
The Octopus Queen dibentuk oleh kelenturan anyaman bambu, dengan segera kita diantar kepada metafora tentang fleksibilitas ideologi pasar. Sejajar dengan itu, dalam pusaran dinamika ekonomi global, tampaknya “survival of the fittest” telah sedemikian rupa bertransformasi ke “survival the fastest” (yang tercepat akan bertahan). Bukankah ketepatan adaptasi dan percepatan inovasi menjadi kunci dalam memahami dunia yang berubah dengan cepat ini? Tak bisa disangkal, hanya dengan cara itu keberlangsungan hidup dan dominasi industri ditegakkan, biar tak tersingkir dari percaturan pasar global.

See also  Nyegara Gunung Serangkaian Karya Agung Kantor Bupati Tabanan

Di Tengah Pusaran
Sihir Komoditas

Ekonomi tanpa tapal batas dan liberalisasi dirayakan sejadi-jadinya, seolah-olah banyak orang yakin itu semua tak akan jebol. Tapi benarkah? Saya tak tahu.
Yang saya tahu, di setiap zaman orang memuja sesuatu yang tak kelihatan, karena tak berdaya terhadap apa yang di luar kendali dan tak bisa dikuasai sepenuhnya. Sebab itu ia pun meraih sesuatu apa yang kelihatan. Dahulu orang merasa takut ancaman yang dianggap datang dari dunia tak kasat mata, maka ia akan membuat patung penunggu, misalnya. Sebuah fetisisme diciptakan melalui pemujaan terhadap sebuah objek yang diyakini punya kekuatan supernatural: penghubung antara dunia fisik dengan metafisik dan berperan sebagaimana saluran komunikasi transenden. Fetis (Fetish) memainkan peran sentral dalam sistem kepercayaan banyak budaya.
Pada dasarnya fetitisme melayani dunia imajiner yakni atributisasi nilai non-material atau kekuatan yang melekat pada satu objek tertentu. Lebih jauh lagi, fenomena fetis masa lampau itu kini berkembang jauh melampaui konsep awalnya. Di abad ke-19, Karl Marx memisahkan konotasi religius dari istilah itu dan menggunakannya untuk menjelaskan bagaimana komoditas juga memiliki kekuatan “mistis” begitu berada di pusaran pasar. Sesuatu yang bukan apa-apa sebenarnya, tapi disanjung begitu hebat. Prosesnya aneh memang. Marx menyebutnya dengan istilah fetisisme komoditas.

Sejak dari awal, komoditas tampak mengandung sesuatu yang paradoks: ada yang konkret, tapi ada pula yang tidak. Di dalam komoditas, terjadi proses abstraksi. Ketika sebuah benda berubah menjadi komoditas, ada yang lenyap dari dirinya. Di situlah ia memiliki sifat mistis, seolah memiliki hidup lain. Yang pasti, komoditas kita terima bukan lantaran “nilai guna”. Tapi ada momen abstraksi yang melahirkan “nilai tukar” oleh apa yang disebut sebagai “harga”. Lebih tajam lagi, pasarlah yang berperan membentuk kesepakatan sosial.
Tentakel-tentakel gurita kapitalis membawa berbagai komoditas ke segala sudut ruang manusia. Menenggelamkannya ke dalam lautan ideologi pasar. Tak mengherankan bila di pasar berbagai komoditas seolah punya nyawa. Sihir memang tak tampak dan lebih tak tampak lagi adalah kekuatan yang memproduksi sihir itu. Tanpa sadar, tiap manusia dibikin sederajat dengan benda, menjelma komoditas. Ia bukan dirinya lagi, ia tak lagi unik.
Maka betapa ganjil hidup ini, pada abad pertama di milenium ke-3 ini, kita meneruskan hidup bersama hal-hal yang tak kelihatan tapi kita puja hingga setengah mati: sebuah tahyul. Jean Baudrillard tampaknya benar, kita terlanjur sebasah-basahnya menjelma masyarakat konsumen. Nyatanya, sebagian besar hidup kita adalah pertaruhan untuk meladeni hasrat mengkonsumsi. Menguras bagian terbesar perhatian kita atas barang-barang: kendaraan, arloji, gadget, busana, sepatu, parfum, kosmetik, bahkan celana dalam. Tendensi berbelanja datang beriringan dengan ilusi.
Pernah kita percaya bahwa projek modernisme datang sebagai juru penerang dunia dari selubung gelap pesona dan sihir. Sebab itu, hutan dan perkampungan menjelma lanskap kota, jalan raya, tempat hiburan, mall, dan papan reklame, menandai betapa alam telah kehilangan tuahnya. Maka manusia modern tak lagi merasa merinding dan khidmat menghadapi alam. Tapi saat sampai di situ, setelah yang auratik terlampaui, ternyata kita kembali masuk jebakan yang sama. Toh akhirnya kita mulai bicara tentang kembalinya pesona lain yang dihayati masyarakat rasional. Yakni, kekuatan sihir yang membuat manusia modern linglung. Namun itu pula yang membuat kita tak henti bertanya: berhala macam apa yang menggerakkan proses itu? Lalu, mengapa?
Memang, hidup punya banyak hal yang tak diduga. Kita mungkin tak berdaya karena sebuah kekuatan ampuh yang tak kasat mata. Jika saja terdapat sesuatu yang bisa mengalamatkan ke mana hidup kita terbawa, itulah dia. Jika ada daya yang membawa isyarat di mana kekayaan mengalir, itulah dia. Ia bukan lagi patung sesembahan yang dipuja sebagai Tuhan, melainkan berhala modernitas: ideologi pasar. Lantas, anehkah bila akhirnya orang-orang modern mempersembahkan hidupnya untuk dia. Akhirnya Ratu Gurita itu tak hanya sekedar patung, tapi ia telah menjelma “arca”. Menjadi lambang berhala: manusia modern memuja tanpa sesaji dan upacara.
Barangkali, itulah gambaran tentang dunia yang tumbuh dengan cara paling halus dan memukau tapi sekaligus melumpuhkan. Kita tak berdaya menolak dan memilih. Seperti juga kita tak menyadari bahwa penguasaan paling lembut dan meluas sedang terjadi; penaklukkan tanpa peluru, tapi efeknya paling melumpuhkan. Demikian pula terjadi di Pulau Seribu Pura, gemerlapnya adalah sebuah penaklukkan lambat laun dan berjalan lembut.
Maka, Ratu Gurita itu bukan lagi sosok bengis yang melakukan invasi dengan paksa. Sebaliknya, ia hadir sebagai konfigurasi wajah ideal kita sendiri: kita ingin jadi modern dengan segala fasilitas material dan berbagai macam kenikmatan yang ditawarkannya. Maka jangankan hadir sebagai penjajah, ia justru tampil seolah sebagai penyelamat yang dirindukan.
Bisa jadi, manusia Bali dalam paradoks. Di halaman luar, Bali diasuh industri wisata: ruang kenyataan di mana kehidupan pragmatis terus berlangsung dalam kepastiannya. Di halaman belakang, Bali dijaga budaya: ruang batin yang sewaktu-waktu bisa menjadi sesuatu yang beda bahkan mungkin asing. Kita saksikan betapa keduanya hadir dan berlangsung serempak. Bernegosiasi dalam proses “menjadi Bali” terus-menerus.
Tapi bagaimana pun caranya, kita harus meyakini kemanusiaan tetap hidup. Modernitas yang digerakkan oleh ideologi pasar memang membuat manusia modern dalam keadaan sangsi kemanusiaan. Tapi kehidupan semacam itu juga, secara dialektik, melahirkan manusia yang kaya untuk dirinya. Yakni, manusia yang terhubung dengan kebutuhan dan keniscayaan batinnya. Sebab itulah karya seni senantiasa dibutuhkan rohani, untuk menampung berbagai hal yang sering disingkirkan oleh keangkuhan modernitas. The Octopus Queen karya Putrayasa hadir untuk itu.
Di tengah terpaan kencang angin laut Nusa Penida, karya seni instalasi The Octopus Queen berdiri dengan kokoh. Arca berhala modernitas itu terus hidup dalam gerak-gerik kita. 21 tentakelnya bagaikan hendak mewakili abad ke-21, bersama segala hiruk-pikuk dan daya pikatnya. Hari-hari ini kita berada di sebuah zaman ketika sihir kaum pemodal lebih sakti ketimbang mantra para dukun.
Di samping dari jarak dekat, saya juga melihat seni instalasi karya Putrayasa itu dari kejauhan. Tampak berada di antara tinggi-rendahnya perbukitan karang, seakan menjadi lanskap hias bagi rumahnya. Seperti halnya gurita, juga menghiasi sarang dengan cangkang kerang, bebatuan, rumput laut dan berbagai benda lainnya, yang dikenal dengan sebutan octopus garden. Mungkin pada suatu waktu, kelak di perbukitan karang itu akan tumbuh octopus garden jenis lain: taman berhias pernak-pernik industri wisata Nusa Penida, yang lahir dari rahim industri.
Karya seni instalasi The Octopus Queen menghadap Utara, wajahnya menghadap ke arah Pulau Bali: kelak, di sana segala sesuatunya akan berubah. Apa yang terjadi? Apa setelah itu? Maka, ada yang cemas tapi ada pula yang tidak.(*)

Redaksi

Related post