Tribute to I Gde Dharna: Pengobar Api Seni dari Sukasada
Salah satu garapan seni Tribute to I Gde Dharna di Gedung Ksirarnawa serangkaian FSBJ VII , Senin (21/7).
DENPASAR – baliprawara.com
Lagu “Merah Putih” mengalun merdu di Gedung Ksiarnawa, Taman Budaya Bali, Art Center Denpasar, Senin (21/7) malam.
Penampil seni dari Sanggar Dermaga Seni Buleleng (DSB) berkolaborasi dengan sejumlah komunitas seni di Buleleng, melantunkan lagu karya almarhum I Gde Dharna tersebut.
Lagu itu sebagai penutup pagelaran “Tribute to I Gde Dharna” serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) VII 2025.
Dengan mengibarkan bendera kecil dari kertas, penonton ikut menyanyikan lagu heroik ciptaan sang pengobar api seni asal Sukasada, Buleleng.
Diimplementasikan lewat panggung sekitar 60 menit, Tribute to I Gde Dharna dimeriahkan dengan pentas tari, musik, teater, dan bincang budaya sosok ketokohan maestro I Gde Dharna.
Diawali pementasan tari kontemporer, dilanjutkan dengan presentasi riwayat hidup plus karya-karya I Gde Dharna, kemudian teaterikalisasi puisi mengenang I Gde Dharna dan pembacaan cuplikan cerpen “Dase Tali Dogen” karya I Gde Dharna serta Opera Perang Bali karya I Gde Dharna.
Pagelaran
ditutup dengan Tari dan menyanyi lagu “Merah Putih” secara kolosal melibatkan seluruh penonton.

Ketua Sanggar DSB Prof. Gde Artawan menyampaikan, spirit maestro I Gde Dharna perlu disosialisasikan dan direpresentasikan melalui pagelaran seperti ini.
Kiprah almarhum dalam dunia kesenian, baik tradisional maupun modern, sangat menginspirasi.
“Melalui pagelaran ini kita berharap spirit berkesenian seorang I Gde Dharna merasuki sanubari generasi muda pengawal budaya, dan terus menjaga bara api seni,” ujar Artawan yang guru besar Undhiksa Singaraja ini.
Kata Artawan, selain pejuang kemerdekaan, I Gda Dharna juga seorang “pejuang” seni. Sebagian besar perjalanan hidupnya didedikasikan untuk kesenian. Karya-karyanya melegenda dan menginspirasi.
Siapakah I Gde Dharna?
I Gde Dharna lahir di Sukasada, Buleleng, 27 Oktober 1931 dan berpulang tahun 2015.
Pensiunan PNS dari kantor Perdagangan Buleleng ini, sejak tahun 1953 menulis sajak, drama radio dan drama televisi, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Bali.
Selain itu ia juga menulis cerpen, lagu berbahasa Indonesia maupun berbahasa Bali, seperti lagu Janger, Genjek, Dolanan, Geguritan dan lagu Paduan Suara.
Karya sastranya telah dipublikasikan di sejumlah media massa seperti Koran Suluh Marhaen, Bali Post, dan Nusa Tenggara. Karyanya juga dimuat pada kumpulan puisi berjudul “Pantai-Pantai”, “Kaki Langit”, “Penyair Asean”, dan “Perang Jagaraga dalam Puisi”.
Puisinya berbahasa Bali juga dimuat pada majalah Burat Wangi, Canang Sari, dan dijadikan kumpulan puisi berjudul “Kobarang Apine” (Drama dan Puisi), “Perang Bali” serta “Leak Macolek Bunga”.
Naskah dramanya berbahasa Indonesia juga dipentaskan di masyarakat, RRI Singaraja, dan TVRI Denpasar.
I Gde Dharna juga menulis dua cerita pendek berbahasa Bali yang berjudul “Tusing Ada Apa Dé” (2003), dan “Dasa Tali Dogen” (2009).
Selain cerpen, I Gde Dharna juga menulis Novel berbahasa Indonesia berjudul “Bintang Den Bukit (2015).
Berbagai juara dan penghargaan diperoleh seperti Wijaya Kusuma dari Bupati Buleleng tahun 1981, Dharma Kusuma dari Gubernur Bali tahun 1989, Sastra Rancage dari Yayasan Rancage Indonesia, dan penghargaan Widya Pataka dari Gubernur Bali. (MBP2)