Yudha Triguna, Akademisi, Budayawan Penjaga Bara Api Seni
Prof. YudhaTriguna
DENPASAR – baliprawara.com
Gelaran Bali Art Lounge #2 bertajuk “Pradnyana Purusottama” hadir
di Bali Nusa Dua Hotel pada 27 September hingga 10 November 2025. Perayaan senirupa tersebut menyertakan karya-karya perupa Bali lintas generasi, koleksi Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, M.S.
Selain menampilkan karya-karya koleksi Yudha Triguna, Bali Art Lounge 2025 kali ini mengundang juga perupa pilihan, antara lain Made Sumadiyasa, Made Gunawan, Nyoman Sujana Kenyem, Putu Sudiana Bonuz dan karya maestro almarhum Made Wianta.
Dalam hajatan Bali Art Lounge 2025 ini penting juga diketahui lebih jauh sosok IBG Yudha Triguna.
Selain seorang akademisi, Yudha Triguna adalah budayawan yang juga memiliki andil dalam merawat seni. Boleh dibilang Yudha Triguna juga ikut menjaga bara api seni dengan berkesenian dan mengoleksi karya seni para seniman Bali.
Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI periode 2006 – 2014 dan Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar periode 2006–2014 ini lahir di Desa Wanasari, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, 17 April 1958.
Bakat Seni Alami
Kurator pameran senirupa Bali Art Lounge 2025, Warih Wisatsana dan Dewa Putu Sahadewa menyampaikan, sejak masa kanak-kanak, Ida Bagus Gde Yudha Triguna telah memperlihatkan bakat seni yang alami. Di desa kelahirannya itu Triguna kecil sudah berani mendirikan perkumpulan drama gong anak-anak. Dari rumah ke rumah mereka berpentas, sementara ia sendiri tampil ganda: sebagai penari sekaligus penabuh gamelan.
Dunia seni baginya sejak awal adalah ruang bermain yang sarat makna, tempat di mana kegembiraan, kreativitas, dan kebersamaan berpadu.
Ketika menginjak masa remaja di SMP Negeri 1 Tabanan, bakat itu semakin tampak. Ia dipercaya menjadi ketua sekaa gamelan sekolah, bahkan turut serta dalam sekaa gamelan desa yang tampil menyambut tim penilai lomba desa tingkat Provinsi Bali. Dari sana ia belajar, bahwa seni bukan hanya hiburan, tetapi juga wujud kebanggaan kolektif, denyut hidup yang mempersatukan masyarakat.
Perjalanan seni itu berlanjut hingga ke SMA Negeri 2 Denpasar, dan menemukan bentuk lebih matang ketika ia menempuh studi di Fakultas Sastra Universitas Udayana pada tahun 1977. Di kampus inilah ia dipercaya memimpin unit kesenian. Puncak perjalanannya kala itu ditandai dengan pementasan sendratari Prabu Udayana, karya Dr. I Wayan Dibia, M.A.
“IBG Triguna bukan sekadar penggerak organisasi seni, tetapi juga penabuh kendang yang berpasangan dengan I Ketut Jaten. Dari panggung ke panggung, ia belajar menghayati irama, meresapi harmoni, dan memahami bahwa seni adalah bahasa universal yang menjembatani rasa,” ujar Warih.
Utasawa Bali Sani
Meski sejak kecil hingga mahasiswa seni hadir lebih sebagai kegiatan ekstra di sela-sela kesibukan belajar, namun benih itu tidak pernah padam. Justru ketika ia dipercaya memimpin Universitas Hindu Indonesia (2006–2013), seni kembali bersemi dengan cara yang lebih luas dan mendalam. Ia menggagas Utasawa Bali Sani, sebuah ajang tahunan untuk mempertemukan tari dan tabuh dalam satu perayaan bersama. Ajang ini bak Pesta Seni Mini yang menjadikan kampus sebagai ruang hidup bagi kreativitas, sekaligus jembatan antara dunia akademik dan para seniman masyarakat.
Dari gagasan tersebut lahir pula tekad mendirikan Fakultas Seni, Tari, Karawitan, dan Seni Rupa di Universitas Hindu Indonesia. Melalui interaksi yang intens dengan para penari, penabuh, pelukis, dan perupa, Triguna semakin menyadari satu hal mendasar: bahwa seni adalah jalan untuk memperhalus buddhi, mengasah rasa, dan menuntun jiwa menuju ānanda—kebahagiaan yang sejati.
Koleksi Seni
Kesadaran itu Yudha Triguna rayakan dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengoleksi karya seni, dari lukisan hingga topeng karya maestro-maestro Bali. Ada topeng dari Bapak Tangguh dan Cokorda Tisnu di Singapadu, regug dari Banjar Lantang Hidung, Desa Batuan, hingga tapel Barong—Bangkal, Bangkung, dan Ket—ciptaan Cokorda Raka Bawa dari Puri Batuyang, seorang maestro yang pernah meraih Juara I pembuat tapel Barong (2010) sekaligus Juara I penari Barong (2007).
Setiap koleksi itu bukan sekadar benda seni, tetapi jejak spiritualitas, simbol kebijaksanaan, sekaligus cermin perjalanan batin seorang pecinta budaya.
Lebih jauh lagi, kecintaannya pada seni rupa tumbuh seiring dengan perjumpaan dan persahabatan dengan banyak pelukis. Ia bersahabat dekat dengan I Made Surita, wartawan sebuah harian terkenal yang kerap melukis di sela-sela pekerjaannya. Dari pertemuan sederhana setiap pagi di sawah, satu demi satu karyanya ia koleksi, karena corak lukisan Surita yang khas, penuh detail dan kesabaran.
Demikian pula dengan Wiradana, kerabat satu banjar di Banjar Tatasan. Sejak 2006–2007, lukisan-lukisannya mulai menghiasi koleksi Triguna. Sebagian bahkan ia hadiahkan, termasuk untuk anaknya yang menikah pada tahun 2006.
Pengalaman penuh makna juga lahir dari perjumpaan dengan Sukari, pelukis yang kala itu sedang sakit. Dari kunjungan ke kediamannya di Yogyakarta, Triguna memperoleh empat lukisan. Kini hanya dua yang masih tersimpan, sementara dua lainnya ia hadiahkan kepada tokoh dan kolektor sebagai penghormatan.
Koleksi lainnya datang dari Bendi Yudha, tetangga seberang jalan, yang ia terima sebagai persembahan hati, bukan transaksi komersial. Demikian pula karya Bapak Marsa, Ketut Suwidiarta, Doel, dan Made Subrata, semuanya hadir dalam tali kasih yang memperlihatkan bahwa seni sejatinya adalah jembatan hati.
Seni sebagai Jalan Dharma
Dari semua perjalanan itu, semakin nyata bahwa bagi Triguna, seni bukan hanya pengiring kehidupannya, melainkan jalan dharma yang memperhalus rasa. Dari drama gong anak-anak di Wanasari, dari tukang penabuh kendang di kampus, dari panggung Utasawa Bali Sani, hingga kanvas dan topeng para maestro, seni selalu hadir sebagai sahabat yang setia. Melalui seni, ia menemukan bukan hanya keindahan, melainkan juga kebahagiaan mendalam—ānanda—yang menuntun jiwa menuju kesempurnaan batin.
Kata Warih, perjalanan intelektual Prof. Dr. IBG Yudha Triguna sendiri menambah bobot makna pameran Bali Art Lounge kali ini.
Baginya, kebudayaan bukan sekadar objek studi, melainkan medan makna yang hidup, yang senantiasa menantang setiap generasi untuk memahaminya kembali.
Sejak awal menekuni antropologi di Universitas Udayana, lalu memperluas cakrawala di Universitas Indonesia bersama budayawan dan akademisi mumpuni Koentjaraningrat, hingga meraih doktoral di Universitas Padjadjaran di bawah bimbingan Prof. Judistira K. Garna, Yudha Triguna menempuh lintasan panjang antara pengalaman empiris, kontemplasi filosofis, dan pergulatan budaya.
Dari para guru besar, terutama Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, ia menyerap kesadaran bahwa antropologi budaya tidak cukup berhenti pada pengumpulan data, tetapi harus mampu menyingkap lapisan-lapisan makna yang tersembunyi di balik simbol dan praktik budaya.
Pesan yang selalu diingatnya: kebudayaan bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk dihayati sebagai pedoman hidup bersama.
Kesadaran inilah yang menjiwai karya-karya akademisnya, dari Teori Tentang Simbol (2000) hingga Makro Humaniora (2025). Setiap tulisan lahir bukan sekadar sebagai wacana ilmiah, tetapi juga sebagai undangan merenung bersama, tentang bagaimana simbol membentuk manusia sekaligus bagaimana manusia membentuk simbol. Pandangan yang berakar pada budaya Bali ini justru meneguhkan posisi universal: bahwa seni dan kebudayaan adalah jalan menuju kebijaksanaan, sebagaimana inti tema “Pradnyana Purusottama.”
Dengan jejak intelektual yang melintasi ruang akademik, Prof. Dr. IBG Yudha Triguna hadir bukan hanya sebagai kolektor, tetapi sebagai perantara antar-generasi.
‘Koleksi yang ia rawat dan tampilkan dalam pameran ini adalah bukti bahwa seni rupa Bali hidup dalam dialektika yang luas: antara lokal dan global, tradisi dan modernitas, sekala dan niskala,” pungkas Warih Wisatsana, kurator yang sastrawan terkemuka ini. (MBP2)