JPU Salah Orang, Ternyata Kewenangan Pungutan SPI Unud Tak Ada Kaitan dengan Prof. Antara
DENPASAR – baliprawara.com
Sidang kasus dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) yang menyeret mantan Rektor Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.ENG. IPU., sebagai terdakwa, kembali digelar, Selasa 21 November 2023, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar. Pada sidang ini, menghadirkan sejumlah saksi, diantaranya Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, SE., M.S., Drs. I Gede Nala Antara, M.Hum., Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, S.E., M.Si., dan Prof. Dr. dr. Anak Agung Wiradewi Lestari, S.Ked.SpK (K).
Ada yang menarik pada sidang kali ini. Yang mana, terungkap kalau kewenangan terkait pungutan dana SPI ini, bukan merupakan kewenangan dari Wakil Rektor I bidang akademik yang dijabat Terdakwa saat itu. Melainkan, kewenangan ada di Wakil Rektor II bidang Umum dan Keuangan.
Terkait hal itu, terdakwa Prof.Antara membantah dirinya terlibat dalam menentukan tarif Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Pasalnya kata dia, penentuan tarif itu bukan urusannya, yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik.
Pada sidang ini, keterangan dari saksi Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, mengatakan, terkait pungutan SPI yang mulai diberlakukan sejak tahun 2018, yang menentukan besaran nilai SPI adalah institusi, melalui beberapa proses tahapan sampai keluar SK Rektor. Sementara, untuk uang SPI yang selama ini dipungut, semuanya masuk ke rekening Unud, by system.
Ketika ditanya siapa yang menandatangani keluarnya uang SPI?, ia menyebutkan untuk mengeluarkan uang SPI, itu melalui proses panjang. Namun untuk tandatangan, memang ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen (PPK), yang sebelumnya divalidasi dulu oleh bagian keuangan. Setelah itu, baru masuk ke pejabat penandatangan surat perintah membayar, yang kemudian baru ke KPA. Setelah disetujui KPA, baru turun ke bendahara, untuk manajemen Kas pembayaran.
Ia juga menegaskan kalau dana SPI selama ini, dipergunakan untuk kepentingan universitas. Begitu juga hadiah CSR dari bank, sepengetahuannya memang semuanya untuk lembaga dan tidak ada nama pribadi untuk itu. “Karena ini by system, itu semua (dana SPI-red) masuk ke rekening Unud,” katanya menegaskan saat memberikan keterangan sebagai saksi.
Di hadapan majelis hakim pimpinan Agus Akhyudi, Hotman Paris selaku penasehat hukum terdakwa, kemudian menunjukan 40 SK rektor dari Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Dari puluhan SK SPI itu, menurut Hotman, tidak ada satu pun rektornya yang ditetapkan sebagai tersangka. Padahal semuanya tidak ada bedanya dengan Unud dalam pungutan ini.
Mengenai kesaksian Prof Wiagustini, terdakwa Prof Antara menanggapi, bahwa dirinya tidak ada hubungannya terkait proses SPI. Karena saat itu pihaknya menjabat sebagai wakil rektor I bidang akademik, sedangkan kewenangan ada di Wakil Rektor II bidang umum dan keuangan. “Salah besar SPI dihubungkan dengan saya. Saya hanya bertugas sebagai WR I bidang akademik. SPI itu bukan ranah WR I,” kata Prof. Antara dalam persidangan.
Ditemui usai persidangan, penasehat hukum terdakwa, Hotman Paris Hutapea, menyebut kalau dalam kasus ini, penetapan terdakwa itu salah orang. Pasalnya terkait penerapan SPI, bukan kewenangan Terdakwa. Karena saat itu terdakwa menjabat sebagai wakil Rektor I bidang Akademik.
Sementara menurutnya, kewenangan terkait SPI itu ada di Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan. “Berarti ini sudah salah orang. JPU sudah salah kaprah dalam kasus ini.
Karena ini kasus SPI, jadi yang harus bertanggung jawab adalah WR II, bukan WR I yang saat itu dijabat oleh terdakwa. Karena tupoksi terkait pungutan SPI itu adalah di WR II. Ini salah orang, ini harus segera disampaikan agar ditangguhkan penahanannya,” kata hotman.
Lebih lanjut ia menilai, dakwaan dari JPU itu amburadul, salah kaprah, salah orang. Ini kata dia sangat memprihatinkan di negara hukum seperti ini. Yang mana seorang profesor ditahan begitu saja, atas sesuatu yang bukan kewenangannya. (MBP)