Wayan Suastama Terinspirasi dari Filosofi Hulu-Teben

 Wayan Suastama Terinspirasi dari Filosofi Hulu-Teben

Wayan Suastama

DENPASAR – baliprawara.com

Pameran senirupa makin menggeliat akhir-akhir ini. Karya rupa yang disuguhkan juga menarik diapresiasi. Seperti karya lukisan Wayan Suastama di Santrian Art Gallery Sanur, pada pameran senirupa 18 Januari hingga 28 Februari 2025.

Wayan Suastama, pelukis kenamaan asal Selabih Tabanan ini bersama Made Duatmika, perupa kelahiran Jembrana, sama-sama menampilkan 16 karya dalam pameran bertajuk “Path of Time, a Returning” atau Jejak Waktu, Masa Kembali”.

Dari 16 karya yang dipamerkan, ada satu lukisan berukuran besar menarik dikaji. Karya itu berjudul “Ibu dan Ayah atau Meme dan Bapa”, bermaterial acrilyc di atas kanvas. Karya itu terinspirasi dari filosofi hulu-teben, sebuah pemaknaan dalam konteks pemuliaan air. Hutan yang memiliki peran vital sebagai hulu dalam penyedia air untuk kebutuhan wilayah teben, kini keberadaannya makin mengkhawatirkan.

Keberadaan hutan tak seangker dan selebat dulu sebagai “bank” untuk menyimpan air hujan secara maksimal. Karena itu ketika hujan lebat terus mengguyur wilayah hulu, air tidak mampu tersimpan secara maksimal sehingga mengalir di permukaan tanah. Ini yang memicu terjadi longsor dan banjir bandang saat musim hujan. Sebaliknya, saat musim kemarau terjadi paceklik air, karena tak ada cadangan yang cukup, tersimpan di hulu.

Melalui karya berjudul “Ibu dan Ayah”, sejatinya Suastama ingin mengingatkan agar pepohonan di hutan dijaga kelestariannya.

Dalam karya ini Suastama menggambarkan batang pohon dengan sosok ibu dan ayah, dilengkapi dengan cabang, ranting dan daun yang lebat. Pohon besar itulah yang menaungi dan memberi perlindungan bagi anak cucu. Untuk menggambarkan fungsi perlindungan, Suastama menempatkan figur-figur manusia dan binatang di cabang dan ranting pohon tersebut. Kemudian di bawah pohon dihadirkan sosok raja hutan berupa macan dan binatang buas lainnya. Binatang itulah yang menjaga hutan, sehingga tak sembarang orang berani memasukinya, apalagi membabatnya. Karena itu untuk menggambarkan kondisi hutan yang demikian, di Bali ada istilah “Alas tenget madurgama”.

See also  Wakil dari 6 Kecamatan di Badung, Adu Kemampuan di Lomba Gong Kebyar Dewasa Festival Seni Budaya ke-14

Melalui karya ini Suastama rupanya juga ingin menggedor hati semua pihak bahwa keberadaan kayu atau hutan memiliki peran strategis bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Karena itu kelestarian hutan mesti dijaga bersama-sama, jika tak ingin malapetaka menjadi ancaman nyata.

Dalam pameran yang dibuka perupa kenamaan I Made Djirna, Suastama juga berbagi kerinduan akan kenangan-kenangan masa kecil, dengan hal-hal yang tidak lagi sama seperti masa kanak-kanak dalam sejumlah karyanya.

Suastama menggabungkan elemen tradisional dengan eksplorasi imajinatif yang bebas. Karya-karyanya menunjukkan keseimbangan antara manusia, alam, dan hewan, seperti tercermin dalam karya berjudul Macan dan Mawar, Dewi Danu, Pohon Waktu, Dongeng Sang Maong, Flower in the Forest, Tumbuh Bersama, Harmoni dan sebagainya. (MBP2)

 

Made Subrata

Related post