Bali Mesti Ditata dengan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

Wayan Sukarsa
Oleh : I Wayan Sukarsa
BALI sebuah pulau kecil dengan luas wilayah darat sebanyak 559.001,27 hektar, terbagi 8 wilayah kabupaten, 1 wilayah kota, 57 kecamatan, 636 desa, dan 80 kelurahan, serta 1.493 desa adat. Jumlah penduduknya sebanyak 4.375.263 jiwa, mayoritas beragama Hindu, dengan kekayaan budaya dan adat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Memiliki keanekaragaman budaya dan adat, menjadikan Bali sebuah pulau yang terkenal di belahan dunia dengan berbagai julukan seperti, Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, Surga Dunia, The Last Paradise on Earth hingga Island of Paradise. Julukan-julukan ini tidaklah berlebihan, mengingat Bali memiliki keunggulan dibandingkan pulau lainnya, baik dari sisi keindahan alam, keunikan budaya, maupun tradisi yang hingga kini masih menjadi magnet dan kekuatan magis Bali di mata dunia.
Keunikan Bali adalah jati diri yang integral yang tidak ada duanya, harus ditata dan didukung oleh kebijakan pembangunan berkelanjutan dengan tidak berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Tetapi lebih menitikberatkan pada aspek kelestarian alam dan budaya yang menjadi kekuatan pariwisata Bali yang berwawasan budaya.
Terjaganya semua potensi ini tidak terlepas dari tata kelola didukung keyakinan yang tertanam pada setiap gerak kehidupan masyarakat dengan memegang teguh falsafah Tri Hita Karana yang diimplementasikan ke dalam Sat Kerthi sebagai landasan, norma, dan pedoman dalam menata kehidupan dan pembangunan Bali.
Maraknya pembangunan di segala bidang kehidupan sebagai bentuk dari penerapan berbagai kebijakan, telah ditetapkan dalam setiap tahapan pembangunan, dari pascakemerdekaan, Orde Baru dan Orde Reformasi telah memberikan dampak dan manfaat secara ekonomi dan sosial, tetapi masih menyisakan ekses negatif, karena tidak menyentuh kebutuhan masyarakat yang dijadikan obyek pembangunan.
Kebijakan pembangunan adalah serangkaian tindakan dan strategi yang dirancang oleh pemerintah, mencakup berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, infrastruktur, dan lingkungan. Berbagai kebijakan telah dilaksanakan dalam melaksanakam pembangunan menjadi fondasi penting dari hasil perumusan dan implementasi keputusan dalam mengatur kehidupan, perekonomian, bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan tidak menutup terjadinya ekses yang berdampak negatif, baik dari segi sosial, budaya dan ekologis lingkungan.
Kebijakan pembangunan di Bali seringkali berfokus pada eksploitasi sumber daya alam, budaya dan adat untuk kepentingan ekonomi, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Akibatnya, muncul berbagai persoalan, terjadinya pembangunan infrastruktur yang tidak terkendali, menyebabkan kerusakan lingkungan, hilangnya lahan pertanian, dan perubahan sosial budaya, pengembangan industri pariwisata massal yang berlebihan (overtourism), menyebabkan masalah pencemaran air dan sampah, peningkatan harga properti dan hilangnya budaya lokal, alih fungsi lahan pertanian, dapat mengancam ketahanan pangan dan mata pencaharian petani lokal, ketergantungan pada satu sektor ekonomi, pembangunan yang terlalu fokus pada pariwisata dan kurangnya partisipasi tanpa melibatkan masyarakat lokal.
Berbagai kebijakan yang telah dilakukan yang tidak direncanakan secara baik, menimbulkan kesenjangan atau ketimpangan hasil pembangunan karena tidak tepat sasaran.
Kebijakan
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan haruslah bijak, tak jarang pemerintah justru memproduksi ketidakbijakan alias kebijakan yang tidak bijak dipengaruhi berbagai faktor, kurangnya kajian mendalam, tekanan politik, maupun kepentingan kelompok tertentu.
Dalam membuat kebijakan, sangat penting untuk mengidentifikasi akar masalah dan mengedepankan evaluasi yang objektif guna memastikan bahwa kebijakan lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat, ketika kebijakan yang dikeluarkan ternyata menyimpang dari harapan, dampak yang timbul pun dapat sangat merugikan, yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban.
Bali menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi melalui pariwisata dengan pelestarian lingkungan dan budaya, meskipun, dampaknya tidak merata di seluruh Bali dengan keterbatasan sumber daya alam, kiranya pandangan Gandhi, patut menjadi refleksi dan renungan bagi pengambil kebijakan dalam membangun Bali bahwa membangun ekonomi dapat diawali dengan menekankan sikap hidup sederhana, hemat, cermat dan berubah secara berangsur-angsur karena mengejar “kemajuan” dengan cara melakukan perubahan sosial besar-besaran dapat membinasakan moral rakyat dan membuat masyarakat tak berdaya, sejalan dengan konsep kearifan lokal Bali cenik lantang serta Tri Hita Karana dalam pembangunan Bali.
Oleh karena itu, perlu perencanaan kebijakan secara komperehensif menitikberatkan pada perlindungan kearifan lokal dengan memitigasi dampak risiko sebagai landasan penting untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi secara keseluruhan.
Ketika kebijakan yang diambil salah, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga menggerogoti fondasi kehidupan rakyat. Kebijakan publik yang tepat sasaran adalah kunci utama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan stabil. Perumusan kebijakan harus didasarkan pada data yang akurat, kajian mendalam, dan partisipasi aktif dari masyarakat serta melakukan evaluasi secara berkala, transparan, dan melibatkan partisipasi publik, transparansi, akuntabilitas, serta pemanfaatan teknologi dan inovasi merupakan kunci dengan mempertimbangkan eksistensi Bali secara berkelanjutan, menghindari kebijakan yang merusak pranata-pranata sosial budaya yang menjadi kekuatan dan keberlangsungan pariwisata yang berwawasan budaya yang menjadi penggerak perekonomian Bali di masa depan. Untuk menghindari kesalahan kebijakan dalam pembangunan, perlu menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang harus menjadi pedoman utama pembangunan Bali. (*)
Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung.