Bincang Arja Kawiya Bali, Tingkatkan Literasi Budaya
Diskusi Arja Lingsar yang diprakarsai Kawiya Bali di ajang PKB 2025, Selasa (23/6).
DENPASAR – baliprawara.com
Ada sajian materi yang cukup menarik dihelat pada Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 kali ini. Jika umumnya sebuah garapan seni tersuguh, kemudian penonton mengapresiasi. Kali ini, ada model lain yang ditawarkan Kawiya Bali. Komunitas seni ini mempersembahkan garapan dramatari Arja Lingsar, kemudian dilanjutkan dengan diskusi bedah karya di Gedung Ksirarnawa, Selasa 24 Juni 2025.
Dari sajian model baru ini diharapkan penonton mendapatkan bekal literasi budaya dan sastra untuk dibawa pulang.
Bertajuk “Arja Tak Jadi Mati”, diskusi ini menghadirkan empat pembicara yaitu seniman Arja yang Rektor Universitas PGRI Mahadewa Indonesia Bali, Prof. Dr. I Made Suarta, seniman Dr. Ketut Kodi yang dosen ISI Bali, Made Adnyana Ole, jurnalis budaya yang pemilik media Tatkala dan I Wayan Sudiarsa, S.Sn, M.Sn. dari Sanggar Gita Semara Peliatan, Gianyar. Berlangsung serius namun santai, diskusi itu dipandu Jro Penyarikan Duuran Batur.
Mestro seni yang juga kurator PKB ke-47, Prof. Dr. I Made Bandem mengapresiasi kegiatan ini. Kawiya Bali dinilai telah berhasil mementaskan dan merevitalisasi Arja Negak, warisan Keluarga Kesenian Bali RRI Denpasar.
“Acaranya tidak saja mengesankan, tetapi bermanfaat bagi generasi muda dalam meningkatkan literasi budaya dan sastra,” ujar Prof. Bandem.
Bahkan, mantan Rektor ISI Yogyakarta ini menyarankan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali mendukung acara ini setiap PKB dengan menghidupkan seni budaya yang hampir punah yakni sastra, tari, gamelan, drama tari, prembon, dan sebagainya.
Prof. Bandem juga mengapresiasi penampilan Arja Lingsar tersebut. Ia menilai ada keserasian antara tari, tabuh, dan tembang dalam pementasan itu.
“Tembang-tembang yang dilantunkan cukup memberi berbagai ekspresi dalam dramatari Arja, seperti sedih, marah, dan roman. Kendati dipentaskan oleh empat orang penari laki-laki, namun gerong atau penyanyi wanita dalam gamelan memberi nuansa manis dalam pertunjukan.
Arja negak diiringi gamelan batel sesulingan yang sangat mendukung romantisme dalam Arja,” ujar Bandem.
Hal senada disampaikan seniman yang Wakil Rektor III ISI Bali, Prof. Dr. I Komang Sudirga. Secara pribadi dia sangat menghormati usaha Kawiya untuk melakukan terobosan pada acara PKB dengan penampilan dan bedah karya seni Arja, dramatari yang unsur-unsurnya sangat kompleks.
Kata Prof. Sudiarga, Arja merupakan drama tari opera tradisional Bali yang menggunakan tembang sebagai aspek dialog utama, dengan Panji sebagai pokok cerita.
Cerita Panji menurut Prof. Soedarsono dipandang sebagi perburuan matahari dan bulan simbol kesuburan.
Panji sebagai tokoh utama dalam cerita Indonesia, juga dipandang sebagai culture hero pembela kebenaran yang menghadapi berbagai ujian dan tantangan, bahkan harus melalui penyamaran-penyamaran untuk mengungkap kebenaran, akhirnya mencapai tujuannya penuh effort.
Arja Lingsar merupakan miniatur Arja sebagai upaya pelestarian budaya Bali seperti bahasa dan aksara, tembang, tari, sastra, gamelan, kerajinan dan rias busana, serta wahana pembentukan karakter generasi Bali unggul.
Prof. Sudirga setuju dramatari Arja harus diberi ruang seluas-luasnya agar generasi muda lebih mengenal kesenian ini. Sekaligus sebagai benteng ketahanan budaya menghadapi gempuran arus budaya global.
Naskah Arja penting, tapi jangan sampai membuat standarisasi prototype yang kaku.
Model-model pengembangan atau inovasi, jangan sampai menghilangkan jatidiri Arja dengan kekuatan taksu estetiknya yang bersumber dari inner beauty dan yoga yantra pragina.
Arja Tetap Hidup
Sementara itu dalam sesi diskusi para narasumber yakin dramatari Arja tetap hidup, karena kesenian ini fleksibel.
Sempat redup, tapi Arja tak mau mati. Terus berupaya menyelamatkan diri dari kepunahan. Bahkan kesenian ini dinilai paling jago menyelamatkan diri.
Narasumber Prof. I Made Suarta, menegaskan bahwa Arja tidak akan pernah mati, sepanjang masih ada agama Hindu dan adat istiadat Bali. Penonton mungkin menurun, tapi napas Arja tetap ada.
Kata Prof. Suarta, Arja pertama kali muncul di Klungkung sekitar tahun 1814, dikenal dengan nama Arja Dadap, sebelum menyebar ke seluruh Bali termasuk Singapadu yang kini menjadi pusat Arja, juga Keramas Gianyar, Sibang Badung dan beberapa daerah di Jembrana.
Arja kemudian masuk ke radio melalui RRI Denpasar berkat tokoh seperti Made Kredek, ayah dari Prof. Made Bandem dan Geriya, ayah dari Prof. Wayan Dibia.
“Saat ini, Arja masih aktif di daerah seperti Singapadu dan Keramas. Bahkan, Arja tidak pernah absen dalam PKB. Dulu hanya sekadar balih-balihan (hiburan), kini menjadi bagian dari bebali (pertunjukan suci), bahkan sering dipadukan dengan upacara nedunang sesuhunan,” tambah Prof. Suarta.
Hal senada disampaikan seniman Dr. I Ketut Kodi, SSP., M.Si., yang dosen ISI Bali. Kata Kodi, Arja menyimpan kekuatan luar biasa karena menggabungkan sastra, pupuh, bahasa Bali, dan kekuatan olah napas (pranayama).
Bahkan diakui, menarikan Arja paling sulit dibandingkan dengan seni yang lain.
Sebab, harus menguasai tarian, gending, makna filsafat, dan gamelan.
Selain PKB, Arja diselamatkan eksistensinya oleh RRI Denpasar. Setiap Hari Minggu, RRI selalu menyiarkan kesenian Arja. Karena itu Kodi
berharap agar Arja di RRI tetap dihidupkan. Pemerintah Bali diminta serius mempertahankan ruang siar tersebut.
Praktisi seni I Wayan Sudiarsa, S.Sn., M.Sn., dari Sanggar Gita Semara Peliatan, Gianyar juga menyampaikan optimismenya terhadap kelangsungan Arja.
Ia yang mulai bergelut secara serius di dunia Arja sejak 2019, menyebut bahwa Arja kini harus bersaing dengan sinetron dan hiburan populer lain.
“Kami tetap pentas setiap enam bulan. Bahkan saat pandemi, kami merancang pertunjukan Arja Lingsar di Pura Desa Adat Ubud. Sajian Arja ini untuk nedunang sesuhunan, agar tak selalu dengan Calonarang,” jelasnya.
Jurnalis budaya Made Adnyana Ole menyampaikan Arja sempat terancam punah di tahun 1970-an karena salah satu penyebabnya para penari perempuan banyak yang menikah. Hal itu sempat terjadi di kampung halamannya, Banjar Ole Marga Tabanan.
Namun Arja diselamatkan oleh Arja Bonan yang meminjam penari dari daerah lain.
Ia juga menyebut
RRI penyelamat Arja. Belakangan, Arja juga cukup pleksibel. Tak mau mati, akhirnya muncul Arja muani yang pemainnya semua laki-laki.
“Arja sangat fleksibel dan bisa beradaptasi seperti salah satunya yang dilakukan oleh Prof. I Wayan Dibia yang mengangkat novel Sukreni Gadis Bali karya AA Pandji Tisna sebagai lakon,” kata pemilik media Tatkala.com tersebut. Baginya, Arja punya keunggulan yakni sastra yang dinyanyikan. Arja juga memiliki keunggulan estetika.
Kemudian, tantangan Arja saat ini adalah durasinya yang panjang. Di tengah era digital, orang hanya sanggup menonton 1–7 menit. Karena itu menurut Ole, durasi Arja perlu diperpendek, tanpa menghilangkan pakemnya. Kemudian dinaskahkan. Sehingga Arja tetap hidup di dunia yang serba cepat. (MBP2)