BNPB Gelar Simulasi Gempabumi dan Tsunami di Tanjung Benoa
MANGUPURA – baliprawara.com
Dengan mengenakan seragam sekolah, siswa siswi SMPN 3 Kuta Selatan (Kutsel), terlihat menangis sambil berlari berhamburan keluar kelas, Jumat 22 April 2022. Mereka terlihat panik setelah terjadi Gempabumi M8,5 saat mereka sedang belajar di kelas.
Guru-guru mengarahkan mereka berkumpul di lapangan untuk menghindari reruntuhan bangunan akibat gempa. Lokasi sekolah yang berada di pesisir pantai Tanjung Benoa ini, tentu sangat berpotensi terhadap tsunami. Benar saja, dangan gempabumi M8,5 ini, menurut BMKG, ini berpotensi terjadinya tsunami.
Untuk itu, seluruh siswa diarahkan menuju lokasi lebih tinggi, yakni di beberapa hotel yang ada di sekitar Tanjung Benoa. Ternyata, skenario ini merupakan bagian dari alur simulasi pengurangan resiko gempabumi dan tsunami, yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di SMPN3 Kuta Selatan. Yang mana, simulasi ini merupakan rangkaian kegiatan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) yang puncaknya akan digelar di Nusa Dua, tanggal 23-28 Mei 2022.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto, yang hadir langsung menyaksikan simulasi ini bersama perwakilan khusus dirjen PBB, mengatakan, SMPN 3 Kuta Selatan ini dipilih sebagai lokasi simulasi karena, masyarakat di kawasan ini sudah sangat siap dalam pengurangan resiko bencana. “SMPN 3 Kuta Selatan ini, merupakan salah satu yang telah mempraktekkan kegiatan-kegiatan terkait pengurangan risiko bencana,” ucapnya.
Pada puncak kegiatan GPDRR tanggal 23-28 Mei, akan dibahas terkait upaya pengurangan resiko bencana. Dari perwakilan delegasi 193 negara yang akan hadir, akan dibahas bagaimana dunia ini membuat kesepakatan terkait pengurangan risiko bencana. Indonesia yang terpilih menjadi tuan rumah, akan menunjukan kearifan lokal yang dimiliki, dalam pengurangan risiko bencana. Kearifan lokal yang dimaksud adalah, upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan tanpa dengan pelajaran terpusat dari pemerintah. Upaya itu memang sudah ada secara turun temurun, sehingga mereka sudah tahu cara menyelamatkan diri.
Lebih lanjut dikatakan, terkait simulasi yang dilakukan, apabila terjadi gempabumi disusul tsunami, mereka akan diarahkan menuju kawasan lebih tinggi di hotel-hotel terdekat yang ada, yakni ada sebanyak 7 hotel di wilayah Tanjung Benoa. “Dari simulasi yang dilakukan, ternyata terlihat mereka sudah paham apa yang harus dilakukan,” ucapnya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, yang hadir pada simulasi ini menambahkan, pihaknya dari BMKG sangat mendukung BNPB dalam menyiapkan, kesiapan masyarakat dalam menghadapi atau mencegah bencana. Dalam hal ini, BMKG menyiapkan sistem peringatan dini, melalui teknologi. Namun menurutnya, teknologi tidak serta merta bisa menjamin. Karena peringatan dini biasanya baru bisa diberikan maksimum 5 menit setelah gempa. Sedangkan, kejadian tsunami bisa terjadi dalam waktu 2 menit.
“Jadi kalau dengan teknologi saja, kita akan gagal. Untuk itu kearifan lokal sangat penting. Karena kearifan lokal itu, tidak menunggu sirine, tidak menunggu teknologi untuk memberikan peringatan dini. Tapi menjadikan goyangan gempa sebagai peringatan dini,” kata Dwikorita.
Untuk itulah, tanpa menunggu sirine, kearifan lokal ini menggunakan goyangan gempa sebagai peringatan dini. Dikatakan, ada beberapa kearifan lokal di indonesia. Mereka mengajarkan secara turun-temurun, kalau ada goyangan gempa, air laut surut, agar segera menuju tempat yang lebih tinggi. “Itulah yang dimaksud kearifan lokal, kalau ada goyangan gempa itu sudah menjadi peringatan,” bebernya.
Dwikorita menambahkan bahwa desa tempat sekolah ini merupakan salah satu dari 7 desa yang mengajukan sebagai desa siaga tsunami. Ia mengatakan ada dua desa di Bali yang sedang dalam proses penilaian desa siaga tsunami dari Unesco. (MBP1)