Duatmika di Santrian Art Gallery, Teringat Makepung, Joki dan Masa Kecil
DENPASAR – baliprawara.com
Lahir di bumi makepung, Jembrana, ingatan pelukis kenamaan Made Duatmika tentang laku sosial dan pengalaman masa kecil di desa, masih melekat kuat hingga kini. Ia masih mengingat betapa serunya tradisi makepung, gagahnya sang ayah menjadi joki, kerbau-kerbau yang diadu kecepatannya pada ajang makepung, dan kerbau-kerbau yang berkubang lumpur.
Lulusan ISI Denpasar ini juga teringat betapa ayahnya tegar menahan rasa sakit ketika kakinya patah saat menjadi joki. Demikian juga masih teringat ketika kerbau-kerbau peliharaan ayahnya, masing-masing diberi nama, layaknya manusia seperti Gambir, Pamor, Bonar dan Kaca.
Kerbau-kerbau itu selain digunakan untuk membajak sawah, juga sebagai hewan yang diadu kekuatannya berlari cepat saat makepung.
Tak hanya itu, Duatmika juga teringat pada aktivitas bertani penduduk desa. Kehidupan sosial para petani dan sikap gotong-royong yang kental.
Menariknya, Duatmika juga pernah terlibat dalam aktivitas bertani, memelihara bebek, menyabit rumput dan sebagainya pada masa kanak-kanaknya.
Kerinduan pada masa kanak-kanak itu ia tumpahkan pada bidang-bidang kanvas, menjadi karya lukis memori yang menarik hati. Kemudian 16 karya di antaranya, dipamerkan di Santrian Art Galleri Sanur Bali bersama sahabatnya, pelukis Wayan Suastama.
“Path of Time, a Returning” atau Jejak Waktu, Masa Kembali, demikian tajuk pameran mereka. Dibuka perupa I Made Djirna Jumat 10 Januari 2025, pameran berlangsung hingga 28 Februari 2025 mendatang.
Duatmika berbagi kerinduan akan kenangan-kenangan masa kecil itu dalam karya-karya ekspresif penuh warna, seperti berjudul “Desaku Ibuku, “PP (Pulang Pergi)”, “Satua Kolok”, “Matur Piuning”, ” Mekipu”, “Gambir, Pamor Bonar, Kaca”, “Pelung Desaku”, “Makepung”, “Kebo Mepalu”, ” Nengala”, “Tibu” dan “Ngejuk Capung”.
Dalam karya “Desaku Ibuku” yang berukuran 2×3 meter, Duatmika menggambarkan keindahan dan suasana alam perdesaan, aktivitas dan kehidupan sosial budaya para petani yang guyub, gotong-royong, kerbau-kerbau, dan tradisi makepung, yang menjadi ikon Jembrana. Melalui karya ini Duatmika sesungguhnya ingin membagi kerinduan masa kecil yang penuh kenangan. Ia ingin suasana yang penuh keindahan, kesejukan dan kedamaian itu tetap terkondisikan di era kini. Kemudian tradisi dan budaya warisan leluhur berupa makepung tetap lestari.
Selain itu karya Duatmika yang menarik diapresiasi berjudul PP (Pulang-Pergi)”. Dalam karya berukuran 1×2 meter itu Duatmika menggambarkan betapa indahnya pengalaman saat kecil di desa, kemudian merantau ke kota. Pengalaman itu diceritakan kembali kepada anaknya ketika ia pulang ke kampung halamannya, Jembrana. Selama perjalanan Denpasar-Jembrana, ia tak bisa melupakan pengalaman masa kanak-kanak itu.
Dalam karya PP, Duatmika menggunakan simbol kota dengan patung Titi Banda di Jalan Bay Pass Ngurah Rai Denpasar. Kemudian dilengkapi dengan gambar sejumlah kendaraan sebagai alat transportasi menuju Jembrana. Duatmika juga menempatkan objek berupa pohon, infrastruktur jalan, gedung-gedung dan rumah tempat tinggal di sepanjang kawasan menuju kampung halamannya. Lewat karya ini Duatmika juga ingin berbagi kerinduan. (MBP2)