Kedatangan Wisnus Lumayan, Tapi Tidak Semeriah Sebelumnya

Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E.,M.M.
Liburan panjang yang bertepatan dengan Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri tahun ini memberikan harapan baru bagi pariwisata Bali. Arus kedatangan wisatawan nusantara (wisnus) terlihat meningkat, terutama melalui jalur darat dan udara, serta kepadatan di sejumlah kawasan wisata seperti Kuta, Sanur, Canggu, Ubud, Kintamani dan Bedugul. Namun, suasana liburan kali ini tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Jumlah wisatawan memang lumayan, tetapi dampaknya terhadap sektor perhotelan berbintang belum terasa signifikan. Banyak hotel besar masih mengeluhkan rendahnya okupansi kamar, bahkan di masa yang biasanya menjadi puncak kunjungan wisatawan domestik. Sebaliknya, penginapan murah seperti homestay, guest house, villa-villa dan hotel non-bintang justru lebih diminati karena harganya yang terjangkau dan lokasinya yang strategis.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran preferensi wisatawan nusantara dalam memilih akomodasi. Kecenderungan untuk berhemat menjadi pertimbangan utama, terlebih di tengah ketidakpastian ekonomi dan tekanan biaya hidup. Wisatawan domestik kini lebih rasional dalam membelanjakan uang mereka, mencari alternatif penginapan yang tidak hanya murah tapi juga nyaman dan dekat dengan pusat aktivitas wisata. Hal ini menantang pelaku industri hotel berbintang yang selama ini mengandalkan segmen pasar menengah atas. Banyak dari mereka belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan tren baru, baik dalam hal penawaran harga, paket bundling, maupun pengalaman yang ditawarkan kepada tamu.
Untuk menyikapi kondisi ini, pelaku pariwisata harus mulai melakukan reposisi strategi layanan dan promosi. Hotel berbintang perlu lebih fleksibel dalam merancang paket promosi, dengan menyesuaikan harga dan fasilitas sesuai kebutuhan wisatawan nusantara. Inovasi dalam layanan, seperti menyediakan pengalaman lokal, aktivitas keluarga, atau program diskon musiman dapat menjadi daya tarik tersendiri. Digitalisasi pemasaran juga perlu diperkuat, termasuk menjalin kerja sama dengan platform online travel agent dan influencer lokal yang memiliki basis pengikut kuat di segmen wisatawan domestik.
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam menyokong transformasi ini. Perlu ada kebijakan yang mendukung pelaku usaha pariwisata dalam menghadapi tekanan pasar, termasuk insentif pajak, dan promosi bersama. Pemerintah juga bisa mendorong diversifikasi destinasi wisata agar tidak terpusat di lokasi yang sama, serta menyelenggarakan event budaya dan ekonomi kreatif secara berkala untuk menarik minat wisatawan datang kembali.
Bali perlu memperkuat identitasnya sebagai destinasi yang inklusif bagi semua kalangan, tidak hanya untuk wisatawan asing atau kelas atas, tetapi juga ramah dan terjangkau bagi wisatawan domestik dari berbagai latar belakang. Adaptasi dan kolaborasi adalah kunci untuk menghadapi perubahan tren ini. Meskipun liburan kali ini belum sebaik tahun-tahun sebelumnya, momen ini harus dimaknai sebagai panggilan untuk berbenah dan membangun kembali daya saing pariwisata Bali dengan cara yang lebih berkelanjutan, responsif, dan berpihak pada kebutuhan pasar saat ini. (*)
Penulis, Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar