Labrak Zona Nyaman, Dibutuhkan Rektor “Perusak” Kampus Untuk Hadapi Perubahan yang Begitu Cepat

 Labrak Zona Nyaman, Dibutuhkan Rektor “Perusak” Kampus Untuk Hadapi Perubahan yang Begitu Cepat

Ketua APTISI Pusat Dr. M. Budi Djatmiko (tengah) foto bersama pejabat struktural ITB STIKOM Bali usai memberikan presentasi tentang tantangan perguruan tinggi di era Society 5.0.

DENPASAR – baliprawara.com

Memasuki era Society 5.0, kampus harus segera membuat inovasi. Karena ke depan, dosen bukanlah segalanya, mengingat mahasiswa bisa belajar di mana saja, kapan saja dengan berbagai sumber digital. 

Dalam hal ini, menurut Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pusat Dr. M. Budi Djatmiko, untuk dapat beradaptasi, ada empat poin penting yang menjadi kata kunci. Pertama, literasi data, yaitu kemampuan untuk membaca, analisis dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital. Kedua, literasi teknologi, yakni memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (coding, artificial intelligence, machine learning, engineering principles, biotech). Ketiga, literasi manusia, yaitu humanities, komunikasi dan desain. Keempat adalah pembelajaran sepanjang hayat. 

“Kata kuncinya bagaimana kemampuan dosen untuk membuat dan mengkolaborasikan empat poin penting itu,” kata Budi Djatmiko, ketika mempresentasikan tantangan perguruan tinggi di era Society 5.0 di depan para pejabat STIKOM Bali Group bertempat di kampus ITB STIKOM Bali, Renon, Denpasar, Senin (21/06/2021).

Lebih jauh dirinya memperingatkan, bahwa perguruan tinggi negeri maupun swasta di seluruh dunia kini dalam bahaya. Jika tidak segera melakukan inovasi pembelajaran, maka nasibnya akan sama dengan perusahaan taksi atau ojek konvensional. 

Di Indonesia kata dia, dari 195 perusahan taksi, kini tersisa hanya 15 perusahaan. Sebagian besar sudah bangkrut, tergilas taksi online. Perguruan tinggi juga akan mengalami nasib yang sama jika tidak segera melakukan inovasi. 

Djatmiko memberi contoh lain di bidang perhotelan. Jaringan hotel internasional seperti JW Marriott, Hilton, Westin yang dibangun dengan biaya triliunan rupiah kini dikendalikan oleh marketplace Traveloka, Pegipegi, Mister Aladin dan Agoda yang mungkin hanya membutuhkan anggaran Rp 1 miliar untuk pengembangan sistem aplikasinya. Tapi mereka kini justru menjadi pemilik ribuan hotel di seluruh dunia tanpa harus susah payah membangun hotel.

See also  Protecc, Teknologi Sterilisiasi Ruangan Tanpa Residu dan Mampu Bunuh 99,99 Persen Virus

“Hasil penelitian Universitas Indonesia tahun 2016 menyebutkan hotel menerima tamu langsung hanya 4 persen. Sisanya dipasok oleh marketplace tadi,” ujarnya.

Dia mengingatkan, kampus-kampus konvensional yang saat ini tegak berdiri megah juga akan mengalami nasib yang sama seperti hotel, dikendalikan oleh kampus online yang mengandalkan teknologi. “Mereka cari mahasiswa, tinggal bagi hasil dengan kampus model lama,” bebernya. 

Di Amerika Serikat, Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) sudah melakukan inovasi pembelajaran jarak jauh. Para mahasiswa asing tidak perlu lagi datang ke Amerika.

“Saat ini 7 persen mahasiswa baru Harvard University tetap tinggal di negaranya, tidak perlu ke Amerika, begitu juga di MIT ada 10 persen mahasiswa baru tetap tinggal di negaranya,” kata Djatmiko.

Sementara itu, dengan kehadiran marketplace yang menggilas dunia kampus, juga dirasakan oleh kampus – kampus pariwisata. “Sekarang ini saja sedikitnya 48 Program Studi Usaha Perjalanan Wisata sudah tutup,” kata Djatmiko.

Dewasa ini manusia berada di era Revolusi Industri IV atau R.IV. Tapi Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (26 Desember 2012 – 16 September 2020) menilai R.IV justru mendegradasi peran manusia dalam kemajuan teknologi. Karena itu Abe membuat konsep masyarakat baru yang dikenal dengan sebutan Society 5.0. Yakni sebuah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human centered) dengan berbasis pada kemajuan teknologi (technology based). 

Lalu apa yang harus dilakukan perguruan tinggi di Indonesia menghadapi perubahan yang begitu cepat itu?. Djatmiko mengatakan, untuk menghadapi perubahan ini, dibutuhkan seorang perusak sistem lama. Yang dibutuhkan saat ini bukan lagi seorang CEO atau Chief Executive Officer, namun seorang CDO atau Chief Disruption Officer. 

See also  Di Bali, Pasien Covid-19 yang Meninggal Kembali Bertambah

Diilustrasikannya, pada era Pandemi Covid-19 ini, perusahaan-perusahaan besar berlomba mencari seorang CEO yang handal untuk menjalankan bisnisnya. Untuk itu, saat ini kampus membutuhkan seorang CDO, seorang Rektor “perusak” kampus, yakni sosok yang mampu melakukan inovasi dan adaptasi dengan perubahan serta melabrak zona nyaman yang ada di kampus selama ini. (MBP)

prawarautama

Related post