Peluncuran Tiga Buku Prof. IBG Yudha Triguna, Ritus Memperkuat Solidaritas Kolektif

 Peluncuran Tiga Buku Prof. IBG Yudha Triguna, Ritus Memperkuat Solidaritas Kolektif

DENPASAR – baliprawara.com

Fakultas Ilmu Agama, Seni dan Budaya, Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar menggelar acara peluncuran dan bedah buku karya Prof. Dr. IBG Yudha Triguna di aula Gedung Rektorat Unhi, Rabu 14 Mei 2025.
Tiga buku akademis yang diluncurkan dan dibedah tersebut berjudul “Makro Humaniora”, “Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban”, dan “Meneroka Teori Kritis: Dari Filsafat Marxisme hingga Teori Rasial.”

Acara peluncuran buku yang dibuka Rektor Unhi, Prof. Dr. Damriyasa, M.S. tersebut menghadirkan tiga pembahas utama, yaitu: Prof. Drs. Dewa Komang Tantra, Ph.D., M.Sc., Prof. Dr. Anak Agung Anom Kumbara, M.A., dan Prof. Dr. Nyoman Yoga Segara, M.A.
Acara yang menghadirkan
Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI, Prof. I Nengah Duija sebagai keynote speaker itu, dipandu Prof. Dr. IB Raka Suardana, guru besar Undiknas dan Dr. dr. Dewa Sahadewa.

Penulis buku, Prof. IBG Yudha Triguna yang Guru Besar Sosiologi Agama Unhi menyampaikan, buku “Makro Humaniora” secara ringkas membahas isu tentang sistem pendidikan yang sering kali terjebak dalam kerangka terlalu reduksionis. Akibatnya, siswa tidak hanya kehilangan perspektif tentang kompleksitas dunia, tetapi juga kemampuan untuk berpikir kritis, kreatif, dan transformatif.
Kata mantan Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI ini, makro humaniora hadir sebagai sebuah paradigma yang relevan, baik dalam wacana akademik maupun praktik pendidikan. Makro humaniora adalah pendekatan lintas disiplin yang mencoba menjembatani sains, seni, teknologi, filsafat, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam memahami dunia secara holistik.

Sementara itu, buku berjudul “Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban” membahas tentang eksistensi ritus yang tetap bertahan dalam situasi gempuran modernisasi dan globalisasi. Ritus selalu dibutuhkan untuk memenuhi beberapa fungsi. Pertama, ritus berfungsi sebagai penjaga identitas. Kedua, fleksibilitas dalam perubahan, artinya ritus dalam beradaptasi tidak kehilangan esensinya. Ketiga, ritus berfungsi sebagai pemaknaan simbolik. Dalam hal ini Clifford Geertz melihat ritus sebagai sistem simbolik yang memungkinkan masyarakat memahami dan memberi makna pada dunia yang terus berkembang.
Keempat, sebagai perekat solidaritas sosial, bahwa ritus memperkuat solidaritas kolektif melalui pembaruan komitmen terhadap nilai-nilai bersama. Kelima, berfungsi sebagai ruang kontemplasi dan spiritualitas. Artinya, dalam dunia yang serba cepat dan sering kali kehilangan ruang refleksi, ritus menawarkan momen untuk berhenti sejenak, merenung, dan memperbarui makna hidup. Hal ini menjadikan ritus relevan bukan hanya secara budaya, melainkan juga secara personal. Fungsi keenam, ritus membangun potensi harmoni sosial.

See also  Bupati Sanjaya Hadiri Turnamen Ceki di Desa Tunjuk

Kemudian, Buku “Meneroka Teori Kritis: Dari Filsafat Marxisme hingga Teori Rasial” , membahas tentang pentingnya kehadiran teori kritis dan relevansinya dalam dunia akademis.
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia mengalami transformasi sosial, politik, dan ekonomi yang sangat cepat. Kapitalisme global, revolusi digital, dan dinamika politik identitas telah mengubah cara manusia berinteraksi, berproduksi, serta membangun makna sosial dan budaya. Di balik kemajuan ini manusia menghadapi pula berbagai krisis, seperti ketidaksetaraan sosial yang semakin tajam, eksploitasi tenaga kerja, rasisme sistemik, dan dominasi wacana yang memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Di sinilah teori kritis menjadi relevan sebagai suatu pendekatan akademik, tidak hanya merupakan alat untuk memahami realitas sosial, tetapi juga berusaha mengungkap, mengkritik, dan mentransformasikan struktur kekuasaan yang melanggengkan ketidakadilan.
“Teori kritis lahir dari kebutuhan untuk melampaui pendekatan positivistik dalam ilmu sosial yang cenderung menggambarkan realitas tanpa mempertanyakan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan,” ujar Prof. Yudha Triguna.
Dikatakan, mazhab Frankfurt yang mengkritik industri budaya memperkenalkan konsep dekonstruksi untuk membongkar makna dominan dalam bahasa, teori pascakolonial, feminisme, dan ras yang menantang hegemoni dalam berbagai bentuknya. Teori kritis menjadi alat penting dalam membongkar mekanisme kekuasaan yang sering kali tidak terlihat.

Sementara itu Prof. Dewa Komang Tantra, pembedah buku “Makro Humaniora” menyampaikan, buku ini memberi kontribusi penting dalam memperkaya pemahaman tentang peran besar humaniora dalam dunia pendidikan. Dengan membahas isu-isu besar kemanusiaan, pendekatan-pendekatan kritis dan relevansi humaniora terhadap perkembangan jaman, buku ini mengingatkan bahwa pendidikan tidak cukup hanya mengasah keterampilan teknis, tetapi harus menumbuhkan kesadaran nilai, etika dan pemikiran reflektif. Buku ini juga mendorong lahirnya model pendidikan yang lebih humanistik, kreatif dan kritis — tak sekadar mengejar output kuantitatif, tetapi membentuk pribadi yang peka terhadap perubahan sosial dan tantangan global.

See also  Himagri Fakultas Pertanian Unud, Gelar Seminar Nasional Diseminasi dan Bedah Buku Terkait Industri Sawit

Namun, kelemahannya, pengantar atau prolog buku ini terasa cukup teoritis dan agak berat, sehingga pembaca awam mungkin kesulitan langsung memahami urgensi pembahasan makro humaniora tanpa contoh kongkret di awal.
Demikian juga Bab 5 buku ini yang mengulas tentang makro humaniora dalam isu-isu kontemporer, meskipun topiknya menarik, pembahasan isu-isu tersebut kadang terasa terlalu umum dan belum cukup tajam dalam menganalisis keterikatan langsung dengan pendidikan atau kebijakan publik.
Epilog buku ini juga kurang memberikan gambaran langkah kongkret atau roadmap yang jelas untuk mengimplementasikan gagasan humaniora makro ke dalam praktik sosial dan pendidikan sehari-hari.

Pembedah buku “Ritus”, Prof. Anom Kumbara menyampaikan, pada
bagian prolog buku ini belum dielaborasi secara mendalam fungsi ritus. Padahal itu penting untuk meyakini pembaca bahwa fungsi ritus amat strategis bagi kehidupan dan dunia akademik.

Sedangkan pembedah buku “Meneroka Teori Kritis” Prof. Nyoman Yoga Segara menyampaikan, makna “Meneroka” yang artinya menjelajahi dan mendalami, tak dijelaskan dalam buku ini. Istilah ini mestinya dijelaskan sehingga pembaca lebih memahami maknanya. Di samping itu dalam buku ini, sejarah teori kritis juga tak diungkapkan.

Hadir dalam acara tersebut Dekan Fakultas Ilmu Agama, Seni dan Budaya Unhi Prof. Dr. I Ketut Suda, Ketua Panitia Peluncuran dan Bedah Buku Prof. Dr. Wayan Sukayasa, WR I Unhi Prof. Putu Gelgel, WR III Unhi Dr. Wayan Sarjana, WR IV Unhi Dr. Nyoman Gde Santyasa, Dekan Fakultas Ayurweda Unhi Dr. IB Suatama, Rektor UHN Sugriwa Prof. Dr. IGN Sudiana dan undangan lainnya. (MBP2)

Made Subrata

Related post