Pembongkaran Tembok GWK, Titik Balik Pengelolaan Ruang Publik di Kawasan Wisata
Prof. IB Raka Suardana
Oleh Prof. IB Raka Suardana
Tembok di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) akhirnya dibongkar setelah menjadi polemik karena menghalangi akses masyarakat sekitar yang setahun terakhir ini terisolir.
Tembok itu dipersepsikan sebagai simbol eksklusivitas yang membatasi ruang publik dan memisahkan masyarakat dengan kawasan wisata yang seharusnya memberi manfaat lebih luas. Fenomena sosial yang muncul dari keberadaan tembok tersebut tidak hanya soal fisik yang menghalangi jalan, tetapi juga tentang perasaan keterasingan masyarakat lokal di tengah wilayah yang berkembang pesat karena investasi pariwisata. Warga merasa kehilangan hak alami untuk mengakses ruang yang dahulu terbuka, sementara kepentingan investasi sering kali lebih diutamakan dibandingkan kebutuhan publik.
Reaksi masyarakat terhadap pembongkaran tembok ini mayoritas bernuansa positif karena dianggap sebagai langkah mengembalikan keseimbangan antara kepentingan investor dengan hak-hak warga. Ada rasa lega bahwa suara publik akhirnya didengar. Pembongkaran itu seolah menjadi penegasan bahwa pembangunan tidak boleh meniadakan hak-hak sosial masyarakat setempat. Dari sisi sosial, perubahan ini memperbaiki hubungan antara pengelola kawasan dengan komunitas lokal, menciptakan ruang baru bagi interaksi, mobilitas, dan rasa memiliki terhadap kawasan yang selama ini dianggap tertutup.
Namun, peristiwa ini juga menjadi refleksi penting bahwa pembangunan berbasis investasi sering kali menimbulkan friksi sosial jika tidak memperhatikan konteks budaya dan kebutuhan masyarakat sekitar. Investor kerap menekankan kepentingan bisnis dan keamanan kawasan, sementara masyarakat menuntut aksesibilitas, keadilan, dan keterlibatan dalam proses pembangunan. Di sinilah letak pentingnya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial. Pembongkaran tembok GWK bukan sekadar menyelesaikan masalah fisik, tetapi juga simbol pergeseran paradigma menuju pembangunan inklusif.
Ke depan, investor seharusnya lebih peka dan adaptif terhadap kondisi sosial budaya di lokasi investasi. Tidak cukup hanya mematuhi regulasi formal, tetapi juga harus memahami aspirasi masyarakat, tradisi lokal, serta nilai-nilai yang hidup di sekitar wilayah.
Model pembangunan yang ideal adalah yang mampu mengakomodasi kepentingan bisnis tanpa mengorbankan hak sosial masyarakat. Keterlibatan komunitas sejak tahap perencanaan menjadi kunci agar tidak ada lagi kebijakan yang menimbulkan ketidakpuasan publik. Transparansi, komunikasi, dan tanggung jawab sosial perusahaan harus ditempatkan di garis depan agar pembangunan yang dihasilkan benar-benar berkelanjutan.
Dengan demikian, pembongkaran tembok GWK dapat dipahami sebagai titik balik dalam pengelolaan ruang publik di kawasan wisata. Masyarakat mendapat kembali akses yang seharusnya menjadi hak bersama, sementara investor diingatkan untuk lebih bijak dalam merancang pembangunan. Jika prinsip keseimbangan dan keterbukaan ini terus dijaga, maka kejadian serupa tak akan terulang lagi, dan pembangunan pariwisata di Bali dapat berjalan lebih harmonis antara kepentingan ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Penulis, Guru Besar Undiknas Denpasar