“Catatan Luka”, Pameran Lukisan Karya Penyintas dengan Gangguan Jiwa di D’Art Cafe and Gallery Kupang

 “Catatan Luka”, Pameran Lukisan Karya Penyintas dengan Gangguan Jiwa di D’Art Cafe and Gallery Kupang

Karya Fatima Az-Zahra

KUPANG – baliprawara.com
‎Klinik Utama Jiwa Dewanta Mental Healthcare (DMH) Kupang menggelar pameran lukisan bertajuk “Catatan Luka” dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025. Pameran dilangsungkan di D’Art Cafe and Gallery, Jalan Lingkar Luar No.40 Sikumana, Kupang, menghadirkan karya 22 penyintas/pasien dengan gangguan jiwa. Selain karya rupa, dipamerkan juga hasil karya kerajinan tangan, dan karya tulis berupa puisi dan cerpen.

Dr. dr. Dewa Sahadewa

‎‎Pameran yang dikuratori Dr. dr. Dewa Putu Sahadewa, Sp.OG (K) ini berlangsung selama dua minggu, dibuka Jumat 10 Oktober 2025 dan berakhir 24 Oktober 2025. Pameran yang dibuka mulai pukul 10.00 hingga 22.00 WITA itu akan diresmikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT dan Walikota Kupang.

‎Pameran ini sesungguhnya juga memberi kesempatan kepada penyintas untuk mengembalikan kesehatan jiwanya yang pernah terganggu. Melalui berkarya seni, mental mereka diharapkan  bisa tersehatkan kembali. Selain itu, pameran ini berupaya menghapus stigma bahwa mereka bukan insan yang terpinggirkan. Mereka adalah orang hebat, yang juga punya potensi seni. Potensi itu mesti ditunjukkan kepada publik dan diapresiasi.


Goresan Jiwa dari Tepian Seni
‎Kurator pameran, Dewa Putu Sahadewa menyampaikan Pameran “Catatan Luka” bukan sekadar pajangan visual biasa; ini adalah momentum penting yang menghadirkan suara dan jiwa dari mereka yang selama ini terpinggirkan: para penyintas dan pasien gangguan jiwa dari Klinik Utama Jiwa Dewanta Mental Healthcare.
‎Sebagai pameran kedua, ajang ini menegaskan kembali bahwa di balik stigma dan keterbatasan, terdapat sumber daya kreatif yang mendalam dan otentik.
‎Kita disuguhkan goresan dan warna yang secara simbolik mengungkap luka di jiwa mereka. Misalnya, ada lukisan sosok dengan kepala plontos dikelilingi beberapa pasang mata, gambaran alam yang tampak indah namun kelam dan sepi, hanya diterangi satu cahaya lampu temaram—sebuah simbol harapan yang masih ada di tengah kegelapan. Karya-karya ini adalah catatan jujur dari sebuah perjuangan batin.

Outsider-Art dan
‎Pengakuan yang Tertunda
Sejarah panjang telah mencatat bahwa para pasien jiwa kerap menghasilkan karya rupa. Namun, meski telah mencipta ribuan karya, pengakuan sebagai hasil cipta kesenian tidak serta merta mereka dapatkan. Ambil contoh Dwi Putro (Pak Wi) dari Yogyakarta atau Ni Nyoman Tanjung dari Karangasem. Mereka adalah sosok dengan gangguan jiwa yang karyanya terpinggirkan dari arus utama seni.
‎Mereka dimasukkan dalam kategori Outsider-Art, sebuah istilah yang dicetuskan oleh kritikus seni Inggris Rogers Cardinal. Istilah ini merujuk pada karya yang mengejutkan dunia dengan keautentikannya, lahir dari naluri yang tidak terkontaminasi oleh pendidikan atau tren seni formal.
‎Proses kreatif mereka juga dapat ditautkan pada Art Brut (Seni Mentah), konsep yang dicetuskan seniman Prancis Jean Dubuffet. Dubuffet adalah orang yang gigih mengumpulkan karya-karya pasien rumah sakit jiwa, termasuk seniman awal seperti Adolf Wolfli (1864-1930). Langkah Dubuffet bahkan melahirkan Museum Collection d’Art Brut di Laussane, Switzerland, yang menampung karya-karya Art Brut dunia, termasuk milik Ni Tanjung.

Batas Tipis Antara
‎Jenius dan Kegilaan
Kaitan antara daya cipta luar biasa dan kondisi kejiwaan sudah lama menjadi perdebatan. Pada tahun 1857, dr. W.A. Browne (Skotlandia) menerbitkan Art In Madnes. Kemudian, dokter Italia Cesare Lombroso melahirkan Genio e Folia (Genius and Madness), yang meyakini adanya batas tipis antara jenius kreatif dan gangguan jiwa.

‎Memang, Art Brut seringkali mengedepankan karya seniman dengan gangguan seperti skizofrenia. Lukisan mereka kerap mencerminkan pribadi yang obsesif, meluapkan naluri purba yang muncul di bawah rundungan delirium.
‎Kini, ada pergeseran penting. Karya-karya mereka belakangan mulai dipamerkan pada peristiwa seni prestisius, bahkan disandingkan dengan karya mumpuni seniman modern dan kontemporer ternama. Pengakuan ini adalah penegasan bahwa dunia kreativitas tak terbatas, membuka apresiasi yang demokratis di mana insan penciptanya dapat diterima seutuhnya—bukan sebagai pasien, melainkan sebagai seniman yang karyanya pantas untuk dihargai.


‎Di samping karya rupa, dipamerkan pula hasil karya kerajinan tangan yang menunjukkan kemampuan, ketrampilan dan ketekunan mereka, yang berkelindan dengan sensitivitas seni dan sisa-sisa luka di jiwa mereka.
‎Begitu juga karya tulis, baik puisi maupun cerpen, yang berteriak dengan indah, terkadang seperti bisikan yang tajam ke dalam diri yang berempati.

‎Satu hal yang mereka mau katakan,” Tidak perlu segala stigma itu. Kami ada dan  kami adalah manusia utuh yang mampu berkarya. Sama seperti seniman lainnya.” (MBP2)

See also  Komitmen Terhadap Kelestarian Lingkungan, SOL by Melia Benoa Ajak Tamu Ikut Tanam Pohon

Redaksi

Related post