Pameran di Galeri Zen 1, Uuk Paramahita Beri Nuansa Tenang dan Damai

Perupa Uuk Paramahita
DENPASAR – baliprawara.com
I Made Gede “Uuk” Paramahita, salah satu pelukis kenamaan Bali akan memamerkan karyanya di Galeri Zen 1 Tuban, Badung, mulai Minggu 16 Maret 2025. Menampilkan 14 karya lukisan, pameran bertajuk “City of Happiness” ini akan dibuka Rektor ISI Bali, Prof. Dr. I Wayan “Kun” Adnyana.
Dalam pameran yang berlangsung hingga 19 April 2025, lulusan STSI Denpasar ini ingin menawarkan konsep karyanya yang berangkat dari bentuk-bentuk figur manusia kecil dengan berbagai teknis yang selalu muncul sebagai sosok peran. Figur-figur tersebutlah yang berbicara dengan latar belakang yang banyak terinspirasi dari alam, realitas atau ekspresi spontan goresan warna. Semua itu mewakili pernyataan sebagai bahasa ungkap. Dan, ia selalu ingin memunculkanya dengan suasana yang terasa tenang. Figur itu tidak memperlihatkan gerak-gerik emosional, karena pada dasarnya sebagai pengendalian diri agar selalu sadar dalam bertingkah laku. Berkarya baginya menjadi bagian dari pembentukan hidup dan menciptakan harapan hidup, atau sekadar nasihat untuk diri. “Karya saya selalu memberi nuansa tenang dan damai yang diikuti oleh wujud aktifitas figur yang kocak, namun itu wujud kebahagiaan. Sebab, pada dasarnya damai dan bahagia menjadi harapan kita semua,” ujar Uuk.
Arif Bagus Prasetyo dalam tulisan kuratorialnya menyebutkan, pengalaman menempuh hari-hari pembatasan sosial selama pandemi Covid-19 merupakan embrio lukisan-lukisan mutakhir I Made Gede Paramahita. Terkurung dalam pengapnya isolasi lahir-batin, seperti banyak orang lain, pelukis asal Denpasar ini merindukan kembalinya kebahagiaan yang memancar dari suasana hangat hubungan sosial. Seni lukis menjadi sarana eksistensial untuk menjaga secercah nyala api harapan terhadap kebahagiaan di tengah kondisi yang tidak membahagiakan dan tidak bisa diharapkan. Uuk mulai menciptakan karya-karya yang mengungkapkan pencarian terhadap makna kebahagiaan. Pencarian itu menuntunnya menemukan gaya lukis khas yang kemudian terus dikembangkannya. Pameran kali ini menampilkan sepilihan lukisan terbaru Uuk yang menjelajahi tema kebahagiaan.
“Berkarya menjadi bagian dari pembentukan hidup dan menciptakan harapan hidup, atau sekedar nasihat untuk diri. Karyanya selalu memberi nuansa tenang dan damai dengan kehadiran figur yang kocak. Itulah wujud kebahagiaan, karena pada dasarnya damai dan bahagia menjadi harapan kita semua.
Uuk lahir dan dibesarkan di kawasan padat penduduk di pusat Kota Denpasar. Tidak mengherankan jika persentuhan intensif dengan ruang urban mewarnai visinya dalam melukis. Disadari atau tidak, karya-karya Uuk membawa jejak pengalaman ruang (spatial experience) dan ruang pengalaman (space of experience) seorang seniman urban.
Lukisan Uuk tampak diresapi oleh suasana dan panorama khas kota besar yang dicirikan oleh kepadatan. Kepadatan penduduk, kepadatan bangunan maupun kepadatan lalu lintas di kota besar seperti diwakili oleh berbagai citraan yang terkesan ramai dan rapat dalam karya-karya Uuk. Realitas Denpasar sebagai sistem metropolis kompleks tercermin pada dinamika bentuk, garis, dan warna lukisan yang terkesan karut-marut, tetapi hampir selalu ditata dalam skema pembagian ruang tertentu.
Struktur lajur atau setrip yang ditempati deretan aneka citraan dalam sejumlah karya Uuk terasa memantulkan pengalaman orang yang berjalan-jalan di kota, ketika pemandangan terus berganti-ganti di sepanjang perjalanan. Dari lajur ke lajur, lukisan menyodorkan jajaran citraan yang tidak berkesinambungan, hampir secara acak. Sebuah refleksi pengalaman keseharian yang fragmentaris dan skizofrenik di kota besar, dengan polanya yang lebih mirip mimpi atau fantasi ketimbang kontak inderawi dengan realitas. “Dalam melukis, saya sering terinspirasi hal-hal yang saya lihat di kota, seperti orang-orang dan bentuk-bentuk bangunan atau atap rumah,” ujar Uuk. “Ketika menyetir mobil, saya sering merasa pemandangan yang saya lihat di kaca depan adalah lukisan.”
Barangkali tanpa disengaja oleh Uuk, perpaduan dari pengalaman isolasi selama pandemi Covid-19 dan pengalaman hidup di kota besar menyingkapkan dunia batin manusia urban. Keadaan terisolasi akibat pembatasan sosial menimbulkan keterasingan antara manusia yang satu dengan yang lain. Relasi antarpribadi menjadi hampir mustahil. Situasi terasing dari manusia lain seperti itu sesungguhnya juga kerap melingkupi penghuni kota besar. Bedanya, keterasingan akibat isolasi pandemi lebih bersifat fisik, sedangkan keterasingan manusia urban lebih bersifat mental.
Dunia batin khas manusia urban yang rawan terhadap situasi terasing dan terisolasi tampak terwakili oleh figur-figur dalam lukisan Uuk. Figur-figur itu hampir selalu sendiri atau menyendiri, tanpa kontak dengan sesama, sibuk dengan urusan masing-masing. Ciri fisik mereka hampir sama, menyiratkan anonimitas dan non-identitas. Wajah mereka juga serupa, semuanya blasé: datar, dingin, tanpa ekspresi. Itulah raut muka yang ditunjuk oleh sosiolog Georg Simmel dalam esai terkenalnya, “The Metropolis and Mental Life”, sebagai cerminan fenomena psikis kota.
Figur-figur dalam lukisan Uuk menyiratkan tipologi manusia urban yang anonim. Dengan wajah tanpa ekspresi, mereka adalah sosok-sosok tanpa identitas pribadi yang sendirian mengarungi samudra kehidupan kota. Mereka seperti sekrup dalam gemuruh mesin kota, komponen impersonal dalam deru mekanisme kehidupan metropolis.
Pada beberapa lukisan, figur-figur memproyeksikan suasana batin kehidupan kota besar yang mendamparkan manusia dalam kesunyian dan kesepian. Sejumlah figur digambarkan dalam keadaan duduk termenung atau berdiri mematung di tengah keramaian lanskap. Mereka seperti sosok yang rentan dilanda tekanan perasaan sepi yang merebak bersama hilangnya ruang komunal oleh ekspansi ruang individual kota besar. Figur-figur itu menggemakan dunia batin manusia urban, jiwa yang sunyi dalam keramaian. (MBP2)